Kamis, 09 Oktober 2008

Bir Hitam

Dirinya tersentak bangun dari tidur ayam ketika dahinya terantuk kaca jendela taksi yang dingin berembun. Cuaca Dublin bulan Januari memang mengerikan. Jaket panjang musim dingin di atas kemeja denim dan sweater wol tebal serasa tak ada artinya. Tapi di luar sana, di sepanjang trotoar O’Connell Street, lalu lalang manusia menjelang jam makan siang nampak tak terusik musim dingin Irlandia. Tak heran banyak pemabuk berkeliaran di kota Dublin, di tengah hari sekalipun. Alkohol memang obatnya dingin yang menusuk tulang.

“Gila dinginnya! Hei, bilang sama si supir! Naikkan suhu pemanas,” katanya kepada teman seperjalanan di sampingnya.

Si teman yang sudah hafal sifat kawannya yang suka complaint hanya tersenyum. “Rasanya sudah mentok. Aku bisa melihat tombol pemanas di dashboard. Penuh diputar ke kanan,” sahutnya enteng.

Temannya yang bertubuh tambun pendek mengeluarkan gerutuan singkat. “Lagipula buat apa sih, kau memaksaku bangun pagi-pagi? Lebih baik tinggal di kamar hotel yang hangat. Untung salju tidak turun. Aku benci salju!”

“Apa yang kau harapkan? Memang begini Januari di Eropa,” jawab temannya yang langsing, berkaca mata dan berambut panjang sebahu itu.

“Aku kira London sudah parah dinginnya. Tapi ini benar-benar kelewatan! Aku hampir-hampir tak bisa merasakan jari-jariku sendiri,” lanjutnya. “Kurasa masih banyak tempat di Eropa yang lebih hangat. Aku jadi kepingin ke Ibiza.”

“Sesuaikan waktunya, dong! Kalau mau ke Ibiza waktu musim panas. Lebih banyak baju yang terbuka di sana saat itu,” jawab temannya sambil terkekeh.

“Aku tahu ini jalan-jalan gratis darimu buatku. Aku tak bisa seenaknya minta ke sana ke sini. Tak ada demokrasi kalau temanmu yang menanggung biaya perjalananmu.”

“Aku tahu itu,” jawab temannya lagi dengan senyum kemenangan yang benar-benar lebar pada wajahnya.

“Ya sudah, aku ikut saja,” tukasnya kalah. Atau mengalah. “Mau ke mana sih kita?” tanyanya lagi. Pandangannya tetap terarah ke pinggiran jalan di luar. Sesekali nampak beberapa orang tinker, gipsi khas Irlandia, dengan pakaiannya yang lusuh. Kelihatan sekali. Bahkan nampak berbeda jelas dengan para pemabuk, yang juga nampak dekil, yang bukan dari golongan orang-orang gipsi itu.

“Ke suatu tempat yang sudah tua sekali. Nanti kau juga tahu.”

“Perjalanan budaya lagi? Salah satu obyek wisata yang kau baca di sebuah buku? Otakmu itu sudah seperti perpustakaan saja. Dasar ensiklopedi berjalan!”

“Mau bagaimana lagi. Hobiku memang membaca dan selalu ingin tahu. You know,…”

I know, I know. You’d be surprised what you can find in a book. Ya, kan?”

“Itu juga. Tapi bukan itu yang mau aku bilang. Aku mau bilang I’m a hopeless romantic.”

Si tambun mengalihkan pandangan dari jalanan ke wajah temannya yang tersenyum garing. “Romantis? Kau tidak sedang jalan-jalan dengan seorang Irish girl bermata hijau yang kecantikannya seperti peri abad pertengahan. Kau sedang jalan dengan aku,” katanya sambil menunjuk hidungnya sendiri. “Seorang laki-laki yang meninggalkan istrinya sendirian di rumah demi sebuah pesiar gratis.”

“Jadi kau menyesal kuajak ke sini?”

“Bukan begitu. Hanya saja pilihan kata-katamu terkadang menggoncangkan jiwa orang yang mendengarnya. Romantis, heh heh,” kekehnya.

“Ah, sempit kau! Romantis tidak hanya soal cewek, tahu? Lagi pula aku lebih suka gadis tropis berambut gelap. Di sini terlalu banyak yang pirang.”

Men prefer blonde, you know?”

Not me, mate. Not me,” jawab temannya dengan dialek Gaelic.

“Oh, tadi kau seorang romantis. Sekarang apa? Seorang ahli bahan peledak dari IRA?”
Sang kawan tersenyum sambil menggerakkan alisnya naik turun. Hobinya memang banyak. Selain membaca, musik dan gila bola dia juga hobi menonton film-film gangster Italia dan film-film teroris Irlandia. Dia bahkan belajar menirukan bahasa Inggris dengan dialek Italia dan Irlandia.

“Oh, aku tahu!” lanjut si tambun. “Kau ingin mencari kaos sepak bola yang langka, kan?”

“Aku bilang tempat yang sudah tua sekali. Bukan toko peralatan olah raga yang modern.”

“Menyerah aku kalau kau sudah main misterius begitu. Terserah kau saja. Mau ke puri abad pertengahan juga boleh.”

“Ha ha ha! Oke,oke, akan kuberitahu. Kita mau ke Brazen Head Hotel. Pub tertua di Irlandia. Dibangun tahun 1660. Kira-kira begitulah.”

“Jauh-jauh ke sini hanya mencari pub? Memangnya di Jakarta tidak ada?”

“Aku mau minum bir hitam, stout yang pekat dan asli Irlandia.”

“Bir hitam? Sekali lagi, memangnya di Jakarta tidak ada yang jual bir hitam?”

“Tapi di Jakarta tak ada yang menghidangkannya hangat-hangat. Lagipula kau kan tahu. Aku suka kalau…”

“Ya, ya, aku tahu. Langsung di pusatnya. Langsung ke jantung. Perfeksionis malang kau ini,” tukasnya sambil tertawa. “Oke, kita ke pub-mu itu. Lagipula ini waktunya makan siang. Di sana juga jualan makanan, kan?”

“Kurasa iya,” jawab temannnya enteng. “Driver, langsung ke Brazen Head.”

Yes, Sir. Brazen Head, Sir,” jawab sang supir taksi.

“Jangan bilang. Semua supir taksi di Irlandia tahu di mana tempat itu?” tanya si gempal.

“Sudah kubilang. It’s the oldest pub in Ireland, mate,” jawab temannya.
Taksi melaju melewati O’Connell Statue terus menuju O’Connell Bridge melintasi sungai Liffey yang membelah kota Dublin dari barat ke timur. Setelah itu membelok ke kanan ke arah barat di Usher’s Quay, sisi sebelah selatan sungai.
Sepuluh atau lima belas menit kemudian taksi berhenti. Mereka berdua bergegas turun dan berjalan ke arah sebuah gang yang nampak sudah ada di situ selama ratusan tahun. Tempat itu berada di bawah naungan bayang-bayang Christ Church Cathedral.

“Hei, hei, apa ini?” tanya si gempal. “Waktu kau bilang Brazen Head Hotel aku kira kita akan memasuki lobi sebuah hotel tua yang setidaknya sedikit mewah, walaupun tua. Tapi kita berjalan masuk gang.

“Ini cuma sebuah hotel kecil, kawan.”

“Heran. Jauh-jauh ke Eropa masuk gang juga. Lagipula tahu saja kau tempat seperti ini. Gang di Jakarta saja aku tak hafal.”

“Aku sudah bilang. Banyak baca dan….”

“Sudah! Cukup! Aku tahu, “ tukasnya cepat.
Pub itu ada di ujung gang. Mereka bukan satu-satunya orang yang berjalan menuju ke sana mengingat ini waktunya makan siang. Kecemasan akan tak tersedianya meja kosong tiba-tiba merayapi tubuh mereka.
Tapi segera nampak tak ada alasan buat merasa cemas. Walaupun banyak orang, suasana masih nampak lengang. Segera mereka menuju sebuah meja kecil dengan dua buah kursi di pojok ruangan.
Sambil mengambil tempat mereka membiarkan atmosfir ruangan menyusup ke benak mereka masing-masing. Alunan musik jazz, Sinatra, mengapung di udara bersama kepulan asap rokok. Pada sebuah papan pengumuman di dekat bar, tertulis ‘Only Traditional Irish Music allowed in this bar’. Mereka berdua membacanya dan tersenyum. Frank Sinatra tidak sedang menyanyikan Danny Boy.

“Waiter,” sahut si langsing melambai kepada seorang pelayan laki-laki.
Sejenak kemudian si pelayan tiba di meja mereka siap mencatat pesanan.

Wha’ would it be, Sirs?” tanyanya dengan keramahtamahan khas Irlandia.

“Dua steak terbaik anda dan dua pint Guiness,” pesan si langsing.

“Ho, tunggu!” sergah kawannya yang gempal. “Kau tahu aku sudah tidak minum bir lagi?” Sejak operasi pengangkatan tumor jinak di paru-parunya tiga tahun yang lalu, dia memang sudah berhenti merokok dan minum alkohol. “Pesankan aku ginger ale saja,” tambahnya.

“Apa? Berhenti merokok aku mengerti. Tapi apa salahnya segelas bir? Kau dulu bilang sendiri, hobi minum tak ada kaitannya dengan sakitmu,” protes si langsing.

“Aku tahu. Cuma sudah cukup lama aku tak minum. Sayang rasanya kalau aku mulai sekarang.”

Oh, my God! Waiter, listen here! Kami sudah jauh-jauh datang melintasi dunia dan temanku ini menolak menikmati your Irish delight. Bukan karena dia tak suka, tapi karena…. tak tahu kenapa,” kata si langsing kepada si pelayan sambil tertawa.

Oh, that’s a trip wasted Sir. Sayang sekali. That’s what everybody came here for. It’s only have been for quite a few hundred years or so, Sir. Wha’ a shame, Sir,” sahut si pelayan.
See? Apa kubilang? Sudahlah, waiter. Bawa saja dua pint Guiness hangat ke sini,”

Right, Sir,” jawab sang pelayan berlalu.

And a glass of ginger ale!” teriak si gempal sebelum si pelayan berjalan terlalu jauh. “Memang tak ada hubungannya dengan sakitku dulu itu, sih. Tapi setelah tergolek beberapa bulan di rumah sakit aku jadi terbiasa tidak minum. Rasanya sayang, sudah berusaha sekian lama berhenti minum.”

“Sudahlah, segelas tak akan membuatmu mabuk. Hawa dingin ini tak akan membiarkan kita mabuk. Lagipula kau dulu peminum yang kuat.”

“Dulu, kawan. Dulu.”

“Dulu kau tidak sedang berada di Dublin. Tapi ini sekarang. Sekarang kau di Dublin, tempat yang kutahu dalam mimpi saja belum pernah kau kunjungi.”

“Aku tahu, tapi….”

“Tak ada tapi! Kau harus minum. Ingat, demokrasi tidak berlaku di sini. Kau minum kalau aku bilang minum. Understood? Capische? Comprende? Mengerti?”

“Tunggu sampai aku selesai bicara! Jangan potong aku dengan seluruh isi kamus bahasa dunia. Bukan itu yang kumaksud,” kata si gempal agak tersinggung karena temannya mengingatkan dirinya. Selama di sini dia jadi tanggungan kawannya itu.

“Maaf, kawan. You were sayin’?”

“Aku bilang aku tahu. Tapi….”

“Tapi apa?”

“Tapi…. Apakah, memang harus…… hangat?” tanyanya terbata-bata. “Aku biasa minum bir dingin. Dengan es batu, kau tahu?”

Tawa meledak dari meja kecil di pojok itu.
“Sepertinya baru saja kau mengeluh tentang taksi yang seperti peti es itu. Kau mau bir dingin? Sudah gila kau?” sahut temannya hampir kehabisan nafas karena terbahak. “Di sini bir hitam diminum hangat. Langsung dari gentong.”

“Terserah kau sajalah,” sahut temannya membela diri, merasa diolok-olok.

“Belum ke Bali kalau belum ke Joger. Belum ke Irlandia kalau belum minum stout hangat!”

“Aku bilang, terserah kau saja lah. Sekali lagi protes, bisa-bisa kau tinggal aku di negara beku ini.”

“Benar, kawanku tersayang!” kata temannya menyeringai lebar setengah mengancam. “Tapi, beku? Kau belum pernah ke Moskow di musim dingin. Negara beku! Ha ha ha! You have no idea, my friend!”

“Kenapa? Kau mau mengajakku ke Moskow dan membujukku menenggak vodka di sana? Setelah segelas besar bir hitam hangat di sini, who knows? Anything’s possible, mate,” si tambun mengerdip nakal.

Berjalan di Red Square. Sepertinya ide yang bagus. Bagus sekali malahan!
The Brazen Head perlahan-lahan makin terasa penuh sesak.

(Supposedly) Dublin, Ireland
November 30th 2006

Tidak ada komentar: