Senin, 24 Maret 2008

Aiko (Jalanan Kota Tokyo)

Aku tersenyum ketika pertama kali membaca tulisan namanya : Okamoto Aiko. Nama kecilnya ditulis dengan dua huruf kanji, ‘ai’ yang artinya cinta dan ‘ko’ yang artinya anak. Seorang anak penjelmaan cinta. Begitulah kurang lebih aku mengartikannya.

Aku tersenyum ketika melihat hubungan antara namanya dengan kecantikannya dan segala sesuatu tentangnya, yang begitu tepat membangkitkan gejolak dalam hatiku. Dia telah membangkitkan rasa cinta dalam hatiku, sejak pertama kali aku melihatnya di kampus Nihon University Tokyo.

Beranikah aku mengatakan cinta? Apakah kata itu akan selamanya terucap? Takkan ada yang mampu mengukur perasanku. Bahkan tidak juga waktu. Tiada kesadaran yang mampu mencegah datangnya perasaan yang satu itu. Tiada hati yang mampu menghentikannya tumbuh. Jadi katakanlah, Cintaku... akankah ada jawaban untuk semua pertanyaanku itu?

Dunia kita begitu jauh berbeda.

Jawaban... Kadang lebih baik dibiarkan tak terucap. Dan malam pun semakin larut, seperti yang kusaksikan dari sebuah sudut di kota Tokyo. Aku akan merindukan kota ini seperti aku merindukanmu. Aku merasa begitu tersesat. Tiap penunjuk jalan, tiap trotoar yang terasa akrab... apakah mereka mengenalku? Kemanakah jalan-jalan ini menuju? Semakin jauh aku berjalan, semakin cepat aku kembali ke mana aku mulai. Apakah aku telah berjalan dalam lingkaran? Dan aku menemui diriku sendirian di tengah sesaknya subway di jam-jam selepas kerja, terkurung oleh dinding-dinding kereta cepat ini.

Ketika aku melangkah keluar dari subway, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Masih sore untuk ukuran Tokyo. Kehidupan malam pun baru memperdengarkan gelegaknya, di bawah sinar bulan yang bersaing dengan gemerlapnya kawasan Roppongi.

Bar, coffee shop, geisha, pria-pria berdasi dengan laptop mereka, tertawa dan melekat pada gelas-gelas bir dan hiburan-hiburan selepas kerja. Jalanan pun telah bosan dengan langkah-langkah kaki mereka yang mantap. Hari demi hari. Malam demi malam. Aku masih belum bisa percaya mereka makan nasi, bukannya mur dan baut dan minyak pelumas. Dan aku masih belum bisa percaya aku telah jatuh cinta dengan salah satu dari mereka. Aku tesenyum dan melangkah masuk ke dalam salah satu bar di situ. Aku menjadi begitu terbiasa dengan gaya hidup mereka.

Bar itu tidak terlalu ramai. Dengan begitu tidak terlalu bising. Aku memesan segelas minuman segera setelah mengambil tempat duduk di ujung bar yang kosong. Sebenarnya aku tak terlalu ingin minum. Aku lebih suka memikirkannya sekarang. Aku merasa takkan pernah berhenti memikirkannya kecuali, tentu saja, kalau aku mati. Terbayang di benakku pertemuan dengannya, pertemuan terakhir, di sebuah restoran di Akasaka.

“Aku memilihmu karena rambutmu,” katanya kala itu.

“Memangnya ada apa dengan rambutku?”

“Rambutmu hitam. Alami,” katanya lagi,”Kau lihat saja sekelilingmu. Dewasa ini sulit sekali menemukan pria Jepang muda yang berambut hitam alami. Semua mengecat rambutnya. Pirang, merah,...”

“Kebetulan memang aku tak suka mengecat rambut,” timpalku.

“Baguslah kalau begitu.”

Pernyataannya sedikit membuatku berpikir. “Tunggu dulu. Berarti kalau aku mengecat rambutku, kau takkan memilihku?”

“Bisa jadi,” jawabnya enteng. Pandangannya tak tertuju padaku.

“Hei, kau tak adil!” tukasku pura-pura sewot. “Berarti, kau bukan memilihku karena kepribadianku?”

“Bukan berarti begitu juga,” katanya sambil tersenyum, manis sekali. Kali ini dia langsung menatapku. “Tetapi hal kecil seperti warna rambut bisa berpengaruh besar terhadap pilihan seseorang.”

“Memang,” kataku pelan. Kali ini aku yang tidak menatapnya. Kepalaku tertunduk di atas cangkir blackberry tea yang setengah kosong di atas meja.

“Seperti pilihan orangtuamu, yang menginginkan orang Jepang sebagai menantu.”

“Maafkan aku,” sahutnya lirih.

“Tak apa. Bukan salahmu.”

“Darah memang sangat penting dalam keluargaku. Ayahku bilang, ‘Darah murni samurai kekaisaran sudah mengalir selama ratusan tahun dalam keluarga kita. Aku ingin keturunanku juga berdarah murni’. Dia mengatakan itu setelah kau pulang. Pada hari pertama kali aku mengenalkanmu pada orangtuaku. Aku langsung tahu apa maksudnya. Dia tak menyetujui hubungan kita,” lanjutnya lagi. Semakin lirih.

“Mungkin kau bisa bilang aku juga keturunan ningrat. Penguasa kerajaan besar di Jawa,” kataku. Sebuah usulan yang jelas tidak serius. Sebuah joke kecil untuk mengangkat suasana hatinya.

“Mungkin juga,” sahutnya. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Rupanya dia menangkap maksudku.

“Ah, tidak mungkin berhasil,” tukasku.

Kami tertawa mendengar pernyataanku itu. Tetapi hati kami memilih untuk menangis.

“Maafkan aku karena menjadi anak yang patuh,” katanya.

“Sudah kubilang tak apa. Bukan salahmu.”

Dia memandang arlojinya. Pukul satu siang.

“Aku harus pergi. Aku janji dengan ibu. Dia berkeras membantu mempersiapkan diriku untuk omiai* besok,” katanya kemudian. Dia mengucapkan omiai dengan cepat sambil menundukkan kepalanya. Sampai di sini dia tak lagi memandangku.

Aku tertegun. Secepat itu? pikirku. “Omiai?”

Dia mengangguk pelan. “Dengan anak kawan lama ayahku. Masih ada hubungan darah dengan keluarga Fujiwara.”

Aku tahu keluarga itu. Sudah ratusan tahun keluarga tersebut bernaung di bawah bayang-bayang kekaisaran Jepang. Hampir semua puteri dalam keluarga

itu, yang memang terkenal luar biasa elok, selalu dijadikan permaisuri para kaisar atau istri para pangeran kekaisaran Jepang yang konon merupakan keturunan langsung Sang Dewi Matahari, Amaterasu Omikami.

“Aku... ehm... begitu ya,” kataku terbata.

“Yah, begitulah,” sahutnya pelan. Hampir berbisik. Kepalanya tertunduk memandangi tas tangan di pangkuannya. “Yah,” katanya sambil berdiri.

“Selamat... kukira,”

“Kalau begitu...”

“Aiko chan...”

Sayonara...” Dia membungkuk cepat dan langsung bergegas pergi.

“Aiko chan!” sahutku hampir berteriak.

Tak ada lagi kata-kata yang bisa menahannya pergi. Aku bersumpah sempat melihat wajahnya saat dia berbalik pergi. Aku bersumpah melihat kilau di wajahnya waktu itu. Seperti... air mata.

Itu hampir sebulan yang lalu.

Sekarang aku di sini, di sebuah bar yang semakin ramai, di depan segelas minuman yang tak juga kusentuh. Aku merasa bodoh waktu melihatnya berlalu begitu saja. Tidak mencoba menahannya pergi. Tidak mencoba memperjuangkan cintanya. Tidak pula merasa ingin menangis.

Dunia kami terlalu jauh berbeda. Dalam hati kecilku pun aku sadar, hubungan kami tak kan bertahan lama. Tapi bukannya tidak mungkin. Aku sudah melihat banyak perkawinan antar ras negara yang berhasil. Hanya saja hal itu tak berlaku dalam hubungan kami. Apa memang aku kurang menginginkannya untuk berhasil? Ah, aku tak tahu. Aku merasa bodoh. Aku tak mau berpikir lagi.

Aku merasa begitu kesepian sekarang, terpisah darinya. Tapi aku tahu, kami menghirup udara yang sama. Dan kami memandang langit yang sama. Untuk sesaat, aku merasa dekat dengannya. Tetap saja aku bertanya, “Ya Tuhan. Apakah ia merasakan kesepian yang sama denganku?”

Dan Tokyo, engkau begitu sarat dengan tempat-tempat yang menarik. Tapi aku hanya ingin berada di mana Aiko berada. Kalau saja aku bisa. Untuk

beberapa menit kemudian, tiba-tiba aku merasa asing di kota yang kucintai ini. Aku membayar pesananku dan melangkah pergi.

Malam terasa tanpa akhir. Aku bisa saja pulang sekarang. Tapi aku merasa dekat dengannya di luar sini, di jalanan kota Tokyo. Aku tak ingin tidur, dan nampaknya begitu juga kota ini.

Kontak terakhir dengannya terjadi beberapa hari lalu. Saat itu hari ulang tahunku. Ulang tahun tanpa kue ulang tahun, tanpa sanak saudara, tanpa kado. Tapi kalau kupikir, seseorang telah memberiku kado. Aiko. Dia memberiku kado termahal yang bisa aku harapkan. Aiko menelepon. Selama lima menit. Lima menit yang berlangsung selamanya.

Nah, aku mengingat sesuatu yang membuatku sedikit bahagia. Apakah aku merasakan sedikit kecemburuan di udara? Maafkan aku, Tokyo. Orang memerlukan sedikit waktu untuk dirinya sendiri. Tapi kau masih bisa tetap bersamaku sebentar lagi. Malahan, habiskan waktumu selama yang kau mau. Bagaimana pun juga, kita berdua sendirian dalam dunia gila yang makin menua ini. Mati perlahan. Kita berdua mati perlahan, kawanku.

Kukeluarkan dompetku. Aku ingin mengamati fotonya. Aiko. Wajahnya yang telah menawan hatiku. Satu-satunya wajah yang ingin kulihat di setiap mimpiku yang gelisah. Aku tersenyum, mengatakan, “Aku mencintaimu,” mengembalikan dompetku ke saku celana, dan berjalan pulang ke apato.

Aku mencintaimu, sayangku Aiko. Selamat malam. Mimpi yang indah.

Dan untukmu Tokyo, kawanku. Hari ini terasa panjang dan kau telah mempersembahkan malam ini untukku. Oyasuminasai. Oyasumi...

Jakarta

December 12th 2007

Tidak ada komentar: