Kamis, 27 Maret 2008

Aku Ingin Bangsa Ini Aku Tak Ingin Bangsa Ini

Aku tak ingin ada orang yang kalah lalu mengumpulkan orang banyak dan membayar mereka untuk menggoyang yang menang.

Bilang yang menang itu curang, menuntut hitung ulang atau mulai merusak dan bakar-bakar.

Kalau tim kesayangan ditundukkan, tim lawan dilempari. Wasit dikejar, dipukuli. Stadion dirusak, mobil dibakar, tawuran, jalanan jadi mcet total. Wajah bangsa dicoreng. Pengurus dibilang tak becus, wajar. Wong pimpinannya saja narapidana. Di dunia ini mana ada organisasi besar yang pimpinannya duduk di balik jeruji penjara? Adanya ya di Indonesia. Disuruh mundur tak mau. Seperti tak punya malu.

Aku ingin bangsa ini legowo, berhati besar.

Aku tak ingin lihat birokrat memanfaatkan jabatan, mempersulit orang.

Biar urusan cepat selesai minta disogok, dikasih uang. Padahal sudah digaji untuk bekerja, melayani orang

Aku ingin bangsa ini jujur, tidak asal cari peluang.

Aku ingin bangsa ini menghargai pegawainya. Kasih mereka bayaran tinggi biar tidak terus cari sampingan.

Aku tidak ingin lihat orang buang sampah sembarangan.

Aku tidak ingin lihat orang ngetem, bikin macet jalanan.

Aku tidak ingin lihat orang nyebrang seenaknya.

Aku tidak ingin lihat orang melanggar peraturan.

Aku tidak ingin lihat orang gelantungan di bus, naik di atap gerbong kereta.

Kalau jatuh, bikin repot aparat. Nanti masuk televisi. Nanti anak-anak kecil sering nonton berita orang mati jatuh dari kereta. Lihat orang hancur berdarah-darah jadi biasa.

Aku ingin lihat bangsa ini disiplin, tahu aturan.

Aku tak ingin lihat orang digusur. Tak ingin serba salah.

Dibiarkan, merusak pemandangan, bikin kotor, kumuh, jorok, bikin malu.

Digusur, kasihan, tak berperikemanusiaan, tak tahu mau diapakan.

Kalau sudah peraturan ya ditegaskan. Tidak boleh bangun rumah di sini. Tak boleh berjualan di sini.

Jangan hari ini digusur lalu ditinggal. Lama-lama ada yang bikin rumah lagi. Kapan-kapan digusur lagi. Begitu terus tak ada henti. Apa ini jadi ladang petugas cari peluang?

Aku tak ingin lihat fasilitas umum tak dipelihara,lalu rusak. Katanya tak ada biaya.Lalu buat apa orang bayar pajak? Dikejar-kejar, dihimbau-himbau, kalau ada yang mau bayar kadang-kadang dipersulit. Peraturannya kelewat banyak. Malah orang harus kursus segala biar ngerti masalah pajak.

Aku masih ingat orang diberi gelar pahlawan kalau mau bayar pajak. Orang bayar pajak itu kewajiban, kok.

Kalau uang pajak sudah terkumpul, tak jelas buat apa. Negara ini seperti kekurangan uang terus. Apa uang pajak hanya untuk bikin tebal kantong segelintir orang saja?

Aku ingin bangsa ini bertanggung jawab.

Begitu juga soal bayar iuran.

Listrik itu barang dagangan. Kalau orang banyak yang beli harusnya makin untung. Ini malah orang suruh berhemat. Kalau tidak listriknya habis. Harga minyak mahal jadi alasan. Salah sendiri kenapa bikin listrik pakai minyak? Benahi dulu perusahaan. Singkirkan tikus-tikus yang bikin PLN jadi ATM rombongan. Perbaiki pelayanan. Jangan sampai listrik kebanyakan mati, tapi maunya iuran dinaikkan.

Kembangkan pengetahuan. Hari gini kok cuma minyak yang jadi andalan.

Aku ingin bangsa ini makin pintar. Buat terobosan. Ada matahari, panas bumi, air yang lebih ramah lingkungan. Dimanfaatkan.

Aku tidak ingin bangsa ini picik.

Kalau akhlak bangsanya rusak, majalah seronok jadi makanan. Situs porno mau diharamkan. Si Inul tdak boleh ngebor-ngeboran.

Seperti tidak ada lagi kebebasan. Katanya negara demokrasi. Kenapa sampai dunia maya saja diperdebatkan. Mana hak pribadi orang? Harusnya semakin dewasa. Kalau tidak suka yang pornografi dan pornoaksi, ya jangan lihat. Jangan ancam orang yang mau lihat. Jangan asal bilang orang sesat. Katanya yang seronok bikin orang blingsatan, merusak iman. Ah, dasar orangnya saja. Biar pakai baju rapat, kalau memang otak ngeres, bisa kelihatan telanjang.

Kalau sudah begitu, agama dijadikan alasan. Alasan buat demo besar-besaran, menebar ancaman dan kebencian. Pakaian santri, kelakuan preman.

Juga kalau di teve banyak adegan kekerasan. Acara gulat dagelan jadi sasaran. Stasiun teve yang disalahkan. Katanya nggak mendidik. Anak kecil jadi ikut-ikutan. Malah sampai jatuh korban.

Kok stasiun teve disuruh mendidik? Lalu buat apa ada orangtua. Lihat anaknya nonton gulat dibiarkan. Padahal acaranya diputar larut malam. Orangtua macam apa yang membiarkan anaknya nonton teve malam-malam? Kalau tidak suka kan tinggal ganti saluran. Atau matikan, suruh anaknya naik peraduan.

Aku ingi bangsa ini luas wawasan. Hargai pilihan.

Aku tidak ingin bangsa ini bodoh.

Pendidikan tak diperhatikan. Banyak orang miskin, tidak bisa sekolah. Banyak bangunan sekolah hampir rata dengan tanah. Guru-guru tidak diupah layak. Malah ada seorang kepala sekolah jadi pemulung sampah. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi tanya saja mereka. Pasti mereka lebih senang digaji banyak. Mereka tidak butuh gelar pahlawan. Mereka butuh uang buat makan. Kalau perut kenyang, mengajar jadi semangat.

Apa lagi kalau sekolah digratiskan. Makin banyak yang sekolah, makin banyak yang pintar. Makin pintar bangsa ini jadinya. Kalau pintar, bisa cari kerja. Kalau pintar cari kerja, bangsa ini tidak lagi dipenuhi orang-orang miskin. Tidak ada lagi anak-anak kecil ngamen di perempatan jalan. Tidak ada lagi anak-anak kecil diperdagangkan.

Tidak perlu lagi jadi TKW. Pergi jauh-jauh ke negeri Jiran. Pulang tanpa bayaran, malah remuk redam, babak belur, mati, atau tidak bisa pulang karena jadi tahanan. Katanya karena membunuh sang majikan. Kalau sudah begini, pemerintah tak mau turun tangan. Padahal para TKW itu sumber devisa, nafkah negara. Itu urusan PJTKI, negara jangan disalahkan. Pemerintah kok jadi kelihatan tidak pintar.

Aku ingin bangsa ini pintar.

Aku tak ingin bangsa ini jadi preman.

Paling menakutkan preman yang pintar. Bikin perkumpulan atau organisasi massa. Entah dasarnya agama atau kerakyatan, kerjanya bikin ketakutan. Siapa yang tidak ngeri lihat kumpulan preman? Jadi penguasa jalanan terus tawuran, rebutan lahan.

Kalau waktu puasa sibuk merazia. Rumah makan dan kafe yang buka dihakimi ramai-ramai. Katanya menjaga kesucian Ramadhan. Kok malah bikin keributan? Bukankah sudah ada aturan? Kalau bulan puasa tidak boleh sembarangan. Kan sudah ada hukum. Serahkan saja sama aparat. Jangan main hakim sendiri.

Aku ingin bangsa ini aman.

Aku tidak ingin bangsa ini serakah.

Sudah kaya masih jadi maling. Korupsi sana-sini. Rebutan jabatan. Rebutan tempat basah. Rebutan kursi dewan. Rebutan kepentingan.

Nasib rakyat jadi mainan. Jangankan diperjuangkan, malah dimanfaatkan. Waktu pemilihan, janji-janji ditebarkan. Kalau sudah menang semua dilupakan. Yang penting sudah punya kedudukan. Perut sendiri diutamakan. Jadi tambah pintar ngomong. Politik praktis memang mengesankan.

Dewan perwakilan jadi tempat cari uang. Bikin anggaran dibesar-besarkan. Minta laptop, biaya jalan-jalan studi perbandingan ke luar negeri, minta teve plasma buat bagus-bagusan walau tak pernah ditonton. Semua bukan tanpa alasan. Biar kinerja jadi tambah bagus, melayani masyarakat biar tambah relevan dan signifikan.

Kalau rapat lamanya sampai bulanan. Nginap dan melobi maunya di hotel-hotel mewah, padahal di gedung DPR banyak ruangan. Bisa dibayangkan berapa biayanya. Biaya rapat, konsumsi, penginapan. Bisa sampai milyaran. Coba kalau biaya rapat dipakai buat kasih makan orang kelaparan. Atau bantu pengungsi bencana alam. Atau bikin sekolah baru. Atau…

Aku ingin bangsa ini… tak tahulah…

Tidak ada komentar: