Kamis, 27 Maret 2008

Menjadi Kaya

Sebuah anekdot senantiasa menggelitik akal sehat saya.

Syahdan, Abunawas sedang kumat isengnya. Dia pergi mengunjungi si Fulan, orang terkaya di desanya.

Katanya, “Wahai Fulan. Benarkah kau orang terkaya di desa kita ini?”

Jawab Fulan, “Wahai Abunawas. Benarlah itu adanya.”

“Berapa jumlah kekayaanmu?” selidik Abunawas kemudian.

“Tak kurang dari sepuluh ribu keping uang emas,” bangga si Fulan.

“Maukah kau jika kuberi seribu keping uang emas?” tanya Abunawas.

“Oh, jelas! Siapa pula yang tak mau?” kata si Fulan sambil menyeringai lebar.

“Wahai temanku Fulan yang malang! Berarti kau masih miskin,” ujar Abunawas.

Kontan seringai Fulan lenyap berganti kerut di dahi.

“Kenapa pula kau berkata begitu?” tanya Fulan kebingungan.

“Kau bilang punya tak kurang dari sepuluh ribu keping uang emas. Tapi kau masih silau dengan seribu keping. Oh, sahabatku yang malang!” kata Abunawas sambil berlalu, meninggalkan Fulan yang hanya bisa melongo.

Saya pernah dan rasa-rasanya masih ingin menjadi orang kaya raya. Tapi mungkin kini pengertian saya tentang kekayaan banyak bergeser. Kaya yang saya pahami dulu adalah memiliki setumpuk uang dan terus ingin menumpuknya. Jika saya menghabiskan setumpuk, masih akan ada setumpuk lagi untuk dihabiskan, dan setumpuk lagi kemudian, dan terus lagi. Pendek kata, definisi kaya adalah memiliki lebih, mungkin lebih dari yang saya butuhkan.

Tapi sekarang, mudah-mudahan saya tidak munafik, pengertian itu telah berubah. Kaya adalah tidak merasa kekurangan. Bagaimana kita bisa merasa tidak kekurangan? Yaitu bila semua kebutuhan kita terpenuhi. Secara ekstrim bisa dikatakan bila kita telah merasa tak memerlukan apa-apa lagi, paling tidak secara materi. Buat apa kita menumpuk kekayaan jika hanya ditumpuk? Uang takkan berarti apa-apa jika hanya ditumpuk, tidak dimanfaatkan, tidak dibelanjakan. Buat apa menumpuk kekayaan jika mendatangkan rasa takut? Takut uang kita hilang, dicuri, habis. Tak tenang jadinya. Hati kita dikuasai ketakutan, kekuatiran. Hati kita jadi miskin. Inilah yang terjadi di negeri kita. Banyak orang menumpuk kekayaan. Sudah kaya dan berkuasa, masih terasa kurang. Akhirnya hak orang dilangkahi. Apa saja dijalani, biar tambah kaya. Jadi maling, korup. Yang model begini mah segudang di Indonesia. Artinya bangsa kita masih miskin.

Kaya hati ternyata lebih penting. Bikin tenteram, damai. Toh uang hanya titipan. Dalam setiap jumlah rezeki yang kita terima, sebagian adalah hak orang lain. Uang adalah amanah. Harus mendatangkan manfaat buat orang, dan buat kita sendiri. Kalau hanya ditumpuk, apa manfaatnya? Bukan berarti kita harus royal. Tebar-tebar uang, tidak memperhatikan keperluan kita. Sejahterakan diri sendiri, baru bisa bederma. Kalau buat kita sudah cukup, sisanya sedekah.

Jadi sekarang bahasanya sudah berubah. Saya tidak lagi ingin jadi orang kaya raya. Saya ingin jadi orang yang serba cukup, tidak kekurangan. Yah, begitulah. Cukup satu rumah, satu apartemen, satu pulau, satu helikopter, satu pesawat pribadi, satu yacht, satu Harley Davidson, satu Ferrari, satu Maybach, satu Bentley, satu…. hehehehehehe….

Tidak ada komentar: