Senin, 24 Maret 2008

Pop, Seminyak dan Klasik

Aku tak setuju bahwa ada sebuah lagu yang berjenis kelamin pop. Tak ada itu yang namanya lagu pop. Pop itu bukan jenis lagu. Pop hanya merupakan suatu keadaan, status, bukan nama, bukan genre. Semua jenis musik bisa menyandang status pop. Rock, jazz, keroncong, blues, boogie-woogie, campursari, reggae, dangdut, bahkan ocehan anak kecil pun, bisa jadi pop.

Pop itu singkatan dari popular. Populer kalau sedang in, masih baru, gres. Kalau sudah lewat masanya, lagu itu jadi klasik.

Bahkan sebuah komposisi simfoni karangan Mozart pun pernah jadi musik pop, waktu pertamakali dipopulerkan. Sekarang namanya klasik, karena sudah lewat zamannya. Sudah ratusan tahun berlalu.

Seperti suasana sore ini. Akan menjadi klasik kalau esok sore sudah tiba. Sore di teras rumah kawanku, duduk-duduk ditemani yang empunya rumah. Jarang sekali aku bisa bertemu dengannya. Baru pagi tadi dia pulang ke Jakarta untuk berakhir pekan. Sejenak lari dari kesibukannya di kota Bandung. Sejenak lari dari istrinya.

“Kau mau melawan pendapat umum?” tanya temanku yang buntal itu.

“Setiap orang bebas punya pendapat,” jawabku.

“Budaya pop sudah berumur puluhan tahun.”

“Bukan berarti tidak bisa salah.”

“Kalau begitu, jutaan orang salah menjuluki Michael Jackson si Raja Pop?” tanyanya sambil nyengir, geleng-geleng kepala menghadapi kekerasan kepalaku.

“Betul,” jawabku pendek.

“Punya dasar yang kuat, bilang MJ bukan raja pop?”

“Sebutkan satu lagu yang pernah dinyanyikan MJ. Akan kusebutkan genre lagunya.”

“Oke. Hmmm... Beat it.”

“Rock.”

Bad.”

“Rock.”

Rock with You.”

“Walaupun ada kata rock, lagu itu bukan rock. Disco,” lanjutku, “Pokoknya dia bukan penyanyi pop. Dia itu rocker. Rock star! Lagu-lagunya berjenis rock, r&b, disco, tak ada yang pop.”

“Pasti ada alasan mengapa orang-orang menjulukinya raja pop.”

“Karena setiap lagu yang dinyanyikannya pasti populer.”

“Kau mau bilang itu ke dia?”

“Ide bagus!” sahutku. “Aku mau bilang : hei, Mike. Sorry to say, you’re not a pop star. You are a rock star. Coba dengar lagumu Black and White. Di situ ada suara gitarnya Slash. Slash itu gitaris rock. Dia bisa nangis kalau dibilang dia memainkan musik pop.”

Kawanku yang baik dan gembul itu tertawa geli. Perutnya terguncang-guncang sedikit. “Bisa cukur rambut tuh si Slash!” imbuhnya. “Omong-omong, kenapa kau selalu mengajakku berdiskusi tentang hal-hal seperti ini? Musik, buku, pengetahuan umum?”

“Karena kau tidak pernah membantahku.”

“Dari tadi apa yang kulakukan, pikirmu?”

“Kau memberikan pandangan. Tinjauan alternatif. Menguji. Bukan membantah.”

“Padahal aku tak terlalu setuju denganmu,” lanjutnya.

“Oke. Menurut pendapatmu sendiri bagaimana? Apa itu musik pop?”

“Tak tahu lah. Tak peduli.”

“Itulah yang kusenangi dari dirimu. Kekosongan yang bisa aku isi.”

“Jadi menurutmu aku ini kosong?”

“Jangan ketus begitu, dong! Habis kau jarang punya pendapat sih!”

“Aku cuma tak mau ambil pusing.”

“Ya itulah kau!”

Kuraih bungkus rokok di atas meja teras. Kusulut satu, kuembuskan asapnya ke udara terbuka. Di rumah ini orang hanya bisa merokok di ruang terbuka. Teras rumah, halaman belakang, pokoknya tidak boleh di dalam rumah. “Apa pilihanmu?” tanyaku kemudian.

“Apa saja yang enak kudengar,” jawabnya pendek.

“Kalau kentut enak kau dengar?”

“Kau mau bicara musik atau...?” sahutnya ketus.

“Makanya yang spesifik!” tukasku tak kalah judes.

“Musik apa saja. Aku tak pernah mengotak-kotakkan selera.”

“Itulah masalahmu. Tak pernah tegas. Spesifik,” lanjutku.

-------o00o-------

Milkshakenya enak,” katanya ketika keluar dari kamar hotelku di Legian. “Paling tidak sejauh yang pernah kurasakan setelah beberapa bulan di Bali.”

Aku yang minta dicarikan empat makan yang kecil dan sepi hanya menyahut pendek, “ Oke.”

Bukan kualitas makanan dan minuman yang aku cari. Aku hanya ingin berdua lebih lama lagi dengannya, di malam terakhirnya di Bali. Setelah makan malam aku harus mengantarnya pulang ke tempat kosnya, untuk bersiap menjalankan tugas malam sebagai PR Officer sebuah kafe di Jalan Padma.

Dan aku tak akan bertemu dengannya lagi sampai besok siang ia pamit pulang ke Jakarta. Aku bisa saja menungguinya semalaman di kafe, melihatnya bergaul dengan tamu-tamu kafe, merayu mereka untuk membeli lebih banyak lagi makanan atau minuman, tapi tidak. Hatiku akan hangus terbakar cemburu melihatnya dikelilingi oleh bule-bule mabuk, yang punya angan bagai tentakel-tentakel gurita raksasa, dan itu akan membuatku makin berat meninggalkan Bali nanti.

Jadi di sanalah kami berdua sekarang. Di sebuah restoran kecil di pojok pelataran parkir sebuah factory outlet, di tepi jalan kecil di daerah Seminyak.

“Sepi, ya,” kataku. Dia hanya mengangguk kecil. Seluruh Bali juga sepi. Keadaan tak pernah bisa betul-betul pulih semenjak tragedi bom di Legian.

Kami memesan dua porsi makan malam yang terdiri dari nasi dan ayam bakar serta, tentu saja, dua gelas besar milkshake cokelat.

Terus terang aku tak nafsu makan. Tak sudi aku memandangi piring makan malamku kalau aku bisa sepuasnya memandangi wajahnya. Orang tak bisa bilang kalau dia punya wajah yang cantik jelita, tapi aku tahu kalau orang pasti tertarik kepadanya. Dia punya daya tarik seorang perempuan matang. Bukan milik seorang gadis yang baru ranum-ranumnya, rupawan dan menebarkan rasa manis. Dia seorang perempuan dewasa. Kecantikan bukanlah daya tariknya. Tapi buatku dialah yang namanya cantik. Cantik secantik-cantiknya.

“Kenapa tak kau habiskan makananmu?” tanyanya.

“Sudah kenyang aku,” jawabku pendek.

“Jawaban orang banyak pikiran,” tambahnya sambil tersenyum tipis.

“Apa kelihatan jelas?”

“Apa yang kau pikirkan?”

“Tak tahulah,” jawabku. “Macam-macam.”

“Seperti?”

“Seperti, entah kenapa aku merasa takkan melihatmu lagi.”

Matanya memandangi gelas di depannya. Kulihat wajahnya mendadak sedikit suram. Entah apa yang ditimbulkan kata-kataku dalam dirinya. Rasa kesal? Atau sesal?

“Kenapa ngomong seperti itu?” tanyanya kemudian.

“Aku masih beberapa hari lagi di Bali,” lanjutku. “Besok kau pulang ke Jakarta. Dan saat aku pulang ke Jakarta nanti, kau sudah akan kembali ke sini lagi.

Wajahnya masih sedikit suram. Kesal? Sesal?

“Bukan keinginanku seperti itu,” lanjutnya. Terasa suaranya makin lirih.

“Tapi kau juga tak berkeinginan sebaliknya,” kataku. Apa aku terdengar sinis? pikirku.

Kan aku sudah bilang. Aku tak bisa...”

“Memang,” sergahku. “Aku memang bukan apa-apamu. Dan kutahu kau tak ingin aku jadi apa-apamu.”

“Aku sudah coba. Tapi aku memang tak bisa menerimamu.”

“Ya, aku tahu. Perasaan memang tak bisa dipaksakan. Hanya saja...”

“Hanya saja apa?”

“Hanya saja... aku tak habis pikir,” lanjutku. “Setelah setahun kita saling kenal. Setelah kita berdua di kamarku tadi...”

Kupandangi lagi wajahnya. Tak bisa kuduga apa yang dipikirkannya. Matanya menghindari tatapanku. Kelu? Muak? Menyesal? Feeling guilty? Bingung? Kita berdua di kamar tadi. Penuh arti? Cinta? Kesenangan badani? Just a kiss? Dari hati? Seks belaka? Tak bisa kuduga apa yang dirasakannya. Aku hanya bisa merasakan, dia tak merasakan sedalam apa yang kurasakan. Bali yang sepi jadi terasa makin sepi.

Tubuh kami hanya dipisahkan oleh sebuah meja. Tetapi meja itu menjadi saksi terpisahnya dua jiwa sejauh jarak yang direntangkan oleh dua dunia yang berbeda. Seolah kami mamandang langit yang sama sambil menjejakkan kaki pada bola angkasa yang berbeda.

Seingatku tak ada lagi kata-kata yang kami ucapkan, yang menunjukkan bahwa hubunganku dengannya paling tidak punya setitik arti, sampai aku mengantarnya ke bandara esok harinya. Kami hanya dua orang yang kebetulan bersimpangan jalan di dunia ini. Hubungan kami hanya sempat pop, tanpa punya kesempatan untuk jadi klasik...

-------oo00oo-------

“Jadi kau mau memulai gerakan anti pop?” tanya sobatku tiba-tiba.

Gambaran sebuah restoran di Seminyak terlempar keluar dari benakku.

Aku kembali ke teras depan rumah kawanku tersayang. Pertanyaan sinisnya membuyarkan lamunanku. Namun diam-diam aku merasakan sedikit kehangatan dari kekecewaan karena tercerabut dari lamunan itu. Membuatnya terasa sedikit...klasik.

“Apa kau bilang?” aku balik bertanya.

“Kau mau memulai gerakan anti pop?”

“Aku tidak anti pop,” sahutku tenang sambil menghembuskan asap rokok.

“Ha?” serunya dengan wajah tak percaya. “Lalu sedari tadi apa yang kita ributkan?”

“Menurutmu apa? Apa yang kau simak?”

“Segala omongan tentang pop, rock, jazz... Tak ada itu yang namanya musik pop...”

“Ya! Itu!” sergahku. “Kau menyimak omonganku. Bukan maksudku.”

“Maksudmu...?”

“Tak ada itu yang namanya musik pop,” potongku. “Aku tak pernah bilang tak suka atau anti musik pop.”

“Tapi tetap saja kedengarannya negatif.”

“Aku cuma tak suka adanya faktor-faktor yang menyebabkan suatu jenis musik dengan mudah jadi populer.”

Temanku mengerutkan keningnya. Selama beberapa detik nampaknya dia berpikir keras, sampai akhirnya dia berkata sambil mengibaskan tangannya, “Aku biarkan kau menjelaskan faktor-faktor apa saja itu.”

Mau tak mau aku sunggingkan seulas senyum geli. “Coba saja dengarkan band-band yang menjamur sewasa ini,” lanjutku.

“Teruskan,” kata temanku itu sambil memusatkan perhatian pada apa yang hendak kukatakan. Mudah sekali membuatnya memutar pantat dan menarik perhatiannya.

“Semuanya populer, laris bak kacang goreng. Apa yang membuatnya begitu?”

“Apa?”

“Musikalisasi yang sederhana, lirik-lirik yang ringan, gampang dimengerti, membuatnya mudah diterima pendengar.”

“Apa salahnya dengan itu?”

“Tidak ada salahnya,” kataku. “Tidak ada salahnya kalau ukurannya duit.” Kubiarkan kata-kataku meresap sejenak. Kumatikan rokokku di asbak.

“Yang mudah diterima orang pasti lebih laris,” lanjutku.

“Aku merasa ada ukuran lainnya,” kata temanku menyelidik.

“Lain lagi kalau ukurannya orisinalitas. Keunikan,” sambungku. “Coba saja dengar lagu-lagu mereka. Bagiku mereka semua terdengar sama saja.”

Keningnya tak lagi mengerut. Namun dia nampak masih berpikir walaupun tak sekeras tadi. Agaknya dia mulai menangkap maksudku.

Gaya nyanyi, suara vokal, bahkan penampilan dan potongan rambut semuanya sama,” kataku. “Mereka cenderung meniru pendahulu-pendahulu mereka yang lebih dulu populer. Gaya dan penampilan sama, kemungkinan besar rejeki juga sama.”

“Kelihatannya aku mengerti maksudmu,” kata temanku manggut-manggut.

“Kalau gaya jualan sudah terbukti laku, kualitas jadi nomor sekian,” lanjutku. “Kacang goreng lebih laku daripada fillet mignon. Semua orang bisa beli kacang goreng.”

“Jadi kau lebih suka kalau disuguhi filey... apa tadi?”

“Bukan begitu. Maksudku walaupun enak, kacang tetap saja kacang.”

“Yah, begitulah orang Indonesia,” tambahnya. “Kalau jualan kacang saja bisa kaya, buat apa jualan filey filey apa itu tadi.”

“Parahnya film juga begitu. Film Indonesia isinya horor melulu...”

“Ha ha ha ha!” gelaknya. “Biar aku lanjutkan. Yang serba ngesot memang laku.”

“Yah, siapa tahu? Suatu saat nanti yang serba ngesot bisa jadi klasik. Bisa jadi cult movie,” sambungku.

“Jadi intinya, semua yang pernah nge-pop suatu saat akan jadi klasik, begitu?”

Kuambil rokok sebatang. Kunyalakan. “Kurang lebih begitu. Menurutku,” jawabku sambil mengepulkan asap.

“Kesimpulannya, kau suka semua yang klasik,” tambahnya lagi.

“Tidak juga.”

“Kau ini...!”

“Kalau aku tak suka saat dia nge-pop,” tukasku, “jangan harap aku suka kalau dia sudah jadi klasik.”

Kawanku itu menggeleng-gelengkan kepala sambil menggaruk-garuk perutnya yang buntal. “Memang susah bicara denganmu. Susah!” katanya.

Aku cuma tersenyum saja sambil menghisap rokokku dalam-dalam. Memang enak merokok. Merokok akan selalu pop. Merokok adalah pop culture. Tak akan jadi klasik. Apalagi jika merokok sambil menikmati sunset. Di pantai.

Ah, tiba-tiba aku ingin sekali pergi ke Bali.

Jakarta

November 11th 2007

Tidak ada komentar: