Senin, 24 Maret 2008

Jazz

Definisi musik jazz yang dijabarkan oleh gitaris Jubing Kristianto dalam buku yang ditulisnya, Gitarpedia Buku Pintar Gitaris (terbitan Gramedia, Jakarta – red) adalah: musik yang berakar dari New Orleans, Amerika Serikat, pada akhir abad ke 19. Merupakan buah perbauran berbagai jenis musik, antara lain blues, ragtime, brasss-band, musik tradisional Eropa, dan irama-irama asli Afrika.

Kamus besar bahasa Inggris Mirriam-Webster menuliskan: musik Amerika yang dikembangkan dari ragtime dan blues dan dikarakterisasi oleh ritme-ritme propulsive yang disinkopasi, permainan ensambel polifonik, berbagai tingkat improvisasi, dan seringkali menggunakan distorsi yang disengaja dari pitch dan timbre. Istilah jazz pertama kali dipakai kira-kira pada tahun 1917. Asal kata jazz sendiri tidak pernah benar-benar diketahui. Kemungkinan kata ini berasal dari bahasa prokem orang-orang keturunan Perancis di daerah New Orleans, ‘jaser’ yang berarti ngerumpi. Terlepas dari itu semua, jazz sudah berkembang jauh menjadi suatu ikon budaya dan gaya hidup bagi sebagian orang, alih-alih hanya sebuah kata. Bahkan era akhir ‘20-an dan awal’30-an dikenal sebagai The Jazz Age di negara asalnya, Amerika Serikat. Era yang juga dikenal sebagai The Great Depression itu tidak mampu menghentikan para jet-set untuk berpesta, memenuhi kelab-kelab jazz dan ballroom hotel-hotel besar di kala itu.

Memang, jazz identik dengan kaum elit. Sudah dari sono-nya musik ini selalu menjadi pilihan bagi para saudagar kaya, pesohor maupun kaum bangsawan yang slalu menghadiri pesta dengan tuxedo dan gaun-gaun mahal. Padahal cikal bakal musik jazz adalah musik yang awalnya dimainkan oleh kaum yang terbuang, budak-budak hitam dari Afrika. Entah kapan dan di mana kontradiksi ini telah lama menguap.

Di Indonesia sendiri musik jazz telah menempuh perjalanan yang tidak pendek. Pada awalnya musik ini dibawa oleh bangsa Eropa, pemerintahan kolonial Hindia Belanda di saat yang kurang lebih sama dengan booming-nya era jazz di Amerika Serikat. Selalu dimainkan di hotel-hotel mewah atau di rumah-rumah para pejabat kolonial, menyebabkan musik ini menemui kondisi yang sangat eksklusif. Tidak semua orang dapat menikmatinya. Hanya yang berkedudukan tinggi, berkoneksi dan tentu saja, berkuasa dan berduit. Bukan musiknya kaum papa dan pinggiran (baca: terjajah). Barangkali inilah salah satu sebab musik jazz tak pernah merakyat di Tanah Air. Mungkin sampai sekarang.

Jazz telah mendunia. Menjadi konsumsi global. Dalam perjalanannya, musik ini telah berkembang menjadi banyak sub-genre. Persinggungannya dengan banyak faktor, kondisi geografis, ragam budaya dan jenis musik lain, telah memperkaya musik ini. Pada awalnya jenis yang paling populer adalah swing, dimainkan oleh sebuah big-band yang didominasi alat musik tiup. Biasanya dipakai untuk mengiringi pesta dansa. Para pelopor genre ini adalah nama-nama legendaris seperti Benny Goodman, Count Basie, Tommy Dorsey, Duke Ellington dan Benny Miller. Kemudian muncullah nama-nama seperti Charlie Parker dan Dizzie Gillespie. Mereka menganggap gaya jazz lama terlalu kaku dan kurang bebas. Mereka kemudian memelopori lahirnya genre baru yaitu bebop dan hard-bop, yang lebih lugas dan dinamis, lebih bernilai seni daripada hanya sekedar musik pengiring dansa. Unsur-unsur alat musik elektrik pun mulai dimasukkan.

Kondisi geografis juga mulai memberikan warna tersendiri pada musik jazz. Pada tahun ’60-an, seorang saksofonis jazz Amerika Serikat bernama Stan Getz dan seorang komponis-pianis Brazil Antonio Carlos Jobim memperkenalkan sejenis musik latin ke negeri Paman Sam dan segera saja bossa nova mulai mendunia. Di Inggris pada tahun ’80-an lahirlah sentuhan Eropa yang mengambil bentuk British funk dan acid jazz yang diusung oleh nama-nama grup band seperti Level 42 dan Incognito. .Percampuran antar genre melahirkan jazz rock dan fusion. Musik jazz juga melahirkan banyak legenda. Mulai dari yang sudah almarhum seperti trumpetis Miles Davis yang memelopori cool jazz, Frank Sinatra, Ella Fitzgerald, Billie Holiday, yang gaek tapi masih aktif seperti Tony Bennet, Al Jarreau, pianis Dave Grusin, sampai yang muda-muda dan penuh energi seperti Harry Connick.Jr, Jamie Cullum, Michael Buble dan Norah Jones.

Kini musisi-musisi jazz handal sudah tidak lagi dimonopoli oleh nama-nama beken dari negeri Paman Sam. Negara-negara Eropa, Amerika Selatan bahkan Asia juga banyak menelurkan musisi-musisi jazz yang ciamik. Jepang adalah adalah salah satu negara Asia yang rajin mengorbitkan banyak musisi dan inovasi musik jazz mutakhir. Salah satu yang paling berkibar sampai sekarang adalah grup band fusion Casiopea.

Festival-festival musik jazz juga banyak diadakan. Beberapa yang melegenda adalah North Sea Jazz Festival di Belanda, Toronto Jazz Festival di Kanada, dan New Orleans Jazz & Heritage Festival di Amerika Serikat, tanah kelahiran musik ini. Festival-festival tahunan bertaraf internasional semacam ini selalu menjadi tolok ukur perkembangan musik jazz dunia.

Bagaimana dengan perkembangan musik jazz di Tanah Air? Pada awal tahun ’90-an lahirlah festival Jak Jazz yang dimotori oleh legenda jazz Indonesia Ireng Maulana. Kemudian pada awal abad ke 21 hadirlah Java Jazz Festival. Keduanya nampak selalu berlomba-lomba menghadirkan artis-artis jazz papan atas dunia. Keduanya berskala internasional. Secara rutin cukup berhasil membuat Indonesia dilirik dunia sebagai barometer baru khazanah per-jazz-an. Tiap tahun festival-festival tersebut selalu ramai dikunjungi berbagai macam lapisan penggemar musik jazz Tanah Air, walaupun tetap saja eksklusif lantaran harga tiket pertunjukannya yang masih terhitung sangat mahal untuk ukuran kantong masyarakat Indonesia. Setelah festival-festival tersebut berakhir, tetap saja pergolakan musik jazz lokal nampak kembali sepi. Itu masih ditambah dengan festival-festival berskala lebih kecil, tetapi cukup mampu mewarnai gejolak jazz lokal seperti Jazz Goes to Campus yang dimainkan dalam lingkungan kampus-kampus di Ibukota. Walaupun kaum muda mendominasi banyaknya jumlah penonton festival, tetap saja sebagian besar mereka menganggap jazz terlalu ‘berat’ untuk dijadikan santapan mereka sehari-hari. Nampaknya mengucurkan dana besar untuk menonton sebuah festival musik jazz internasional masih dianggap hanya sebagai sesuatu yang menaikkan gengsi. Atau sekedar bersuka ria berkumpul sesama teman-teman, menikmati tontonan murah meriah di festival jazz kampus. Mereka tetap memilih musik-musik ber-genre umum seperti rock, pop, r&b atau musik dansa house, trance dan hip-hop. Secara kasat mata dapat ditemui dari banyaknya stasiun televisi di Tanah Air, tak ada satu pun tayangan program yang dipersembahkan khusus bagi pecinta musik jazz. Bahkan musik jazz kalah jauh pamornya dibandingkan dangdut di ranah pertelevisian secara komersial. Demikian pula yang terjadi pada ranah gelombang radio. Sangat jarang ditemukan stasiun radio yang didedikasikan untuk para penggemar jazz. Jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Paling-paling di setiap kota besar di Jawa khususnya, hanya ada satu stasiun radio yang mengudarakan program musik jazz sebagai main course-nya. Dan itu pun hanya kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung atau Surabaya. Lagi-lagi mereka yang bukan orang awam dalam menikmati musik jazz tak bisa menyalahkan siapa-siapa atas kondisi ini.

Pada era ’80-an khazanah musik Indonesia masih diramaikan oleh grup-grup jazz seperti Funk Section (mendiang Krist Kayhatu dkk), Karimata (Candra Darusman dkk), Krakatau (Indra Lesmana dkk), Emerald (Noorsaid bersaudara) dan banyak lagi yang lainnya. Kini mereka bagaikan hilang ditelan kabut, tersingkir oleh permintaan industri musik yang memilih jenis-jenis musik pop yang lebih laku dijual. Musisi-musisi jazz seperti Erwin Gutawa dari Karimata dan Dwiki Dharmawan dari Krakatau tidak lagi menggiatkan kelompok musiknya dan nampaknya lebih memilih jalur ‘aman’ bermain di dunia pop. Tak terlalu mengherankan, memang. Bahkan musisi kelas dunia seperti Sting yang pernah mengaku bahwa jazz lah gairah utamanya dalam bermusik, pada awalnya membentuk grup band punk rock, The Police hanya sebagai sarana untuk mencari nafkah yang pasti.

Dunia jazz Indonesia hanya meninggalkan tempat bagi nama-nama lama seperti almarhum Jack Lesmana, almarhum Bill Saragih dan almarhum Nick Mamahit, Kiboud Maulana, Buby Chen atau Mus Mujiono. Hampir tidak ada ruang bagi regenerasi. Walaupun kini telah banyak bermunculan nama-nama baru dan segar seperti Malik and d’Essentials, Ecoutez dan Parkdrive tetap saja mereka memilih jalur aman. Walaupun kerap tampil dalam festival-festival jazz lokal, mereka mengaku membawakan lagu-lagu pop yang jazzy dan tetap emoh dibilang memainkan musik jazz. Untungnya masih ada segelintir orang muda yang setia dan peduli pada musik jazz yang mainstream. Mereka berkumpul, memainkan dan menikmati musik jazz, walaupun hanya untuk kalangan terbatas. Contohnya adalah apa yang dilakukan para orang muda yang membentuk suatu komunitas yang diberi nama Komunitas Jazz Kemayoran. Tetapi, komunitas ini tetap saja tampil secara terbatas, baik bagi anggotanya maupun peminatnya. Tidak mampu menjangkau masyarakat luas. Begitu pun, sebenarnya banyak talenta-talenta muda yang menggemari jazz. Hanya saja media bagi mereka untuk tampil dirasa masih sangat kurang. Mereka kebanyakan unjuk gigi dalam lomba-lomba bagi grup musik yang biasanya diselenggarakan oleh sekolah-sekolah musik yang disokong oleh produk alat musik terkenal. Tetapi, pembinaan selanjutnya seperti berjalan di tempat. Seperti tak ada pihak yang mau memberikan perhatian lebih kepada mereka, apalagi mengajak mereka masuk dapur rekaman. Sekali lagi, sulit menjual musik jazz.

Musik jazz, seperti semua karya seni lain, memang dinamis. Dalam perjalanan usianya yang panjang, semakin berkembang dan menghadirkan banyak warna. Para penikmat musik pun disuguhkan oleh makin banyak pilihan. Mau yang konservatif tapi berat, atau yang mutakhir dan terdengar ringan-ringan saja. Pada akhirnya perkembangan musik jazz mendegradasi jazz itu sendiri. Seperti kata Suka Hardjana dalam bukunya Musik Antara Kritik dan Apresiasi (Penerbit Buku Kompas, Jakarta-red), “…saat ini agak sukar membedakan mana jazz yang benar-benar jazz, jazz yang setengah jazz, jazz yang campur-campur, dan jazz yang bukan jazz.” Yang mana pilihan anda? (Sonny)

Dari berbagai sumber

Tidak ada komentar: