Senin, 24 Maret 2008

Bossa Nova (The Story)

Panas terik tengah hari bulan Februari membakar kota Rio de Janeiro. Dua orang turis - paling tidak satu di antara mereka - merelakan tubuhnya digempur milyaran foton ultraviolet, berjalan di atas trotoar Avenida Atlantica yang terkenal itu. Ombak laut menerpa pasir pantai, membasahi tubuh ribuan turis lokal dan manca negara, Copacabana beberapa langkah di sebelah kiri mereka. Gerutuan keluar dari mulut salah seorang yang berjalan dengan langkah berat beberapa meter di belakang temannya. Air dalam botol mineral di tangannya tinggal beberapa teguk.

“Aku tahu kau yang mentraktirku ke sini sampai aku tega meninggalkan istriku di rumah. Untung dia mengizinkan. Tapi ini sudah keterlaluan! Panasnya seperti di neraka! Kata orang ini surga dunia,” sumpahnya. Tubuhnya yang pendek gempal bergoyang gontai, menyeret-nyeret kedua kakinya.

Temannya yang lebih tinggi dan langsing hanya tersenyum lebar mendengar omelan rekannya. Langkahnya pelan tapi mantap. Kepalanya tertoleh ke kanan menatap bukit Corcovado, dengan patung Kristus di puncaknya, yang menjulang jauh di belakang gedung-gedung kota Rio.

“Kenapa kita tidak naik taksi saja sih? Pantai Ipanema masih beberapa mil lagi di depan kita, “ lanjutnya lagi. Keringat sudah membasahi setiap sentimeter persegi t-shirt-nya.

“Bersabarlah, kawan! Paling tidak satu jam lagi kita sampai di sana, “ jawab temannya dengan senyum yang tambah lebar. “Kau sendiri yang setuju kita berjalan-jalan di pantai hari ini.”

“Tapi tidak sebelum aku tahu kita harus ke Ipanema. Tidak bila harus mengukur panjangnya Copacabana lebih dulu!”

“Sudahlah. Kita berada di pantai paling indah di seluruh dunia. Copacabana adalah nama lain untuk paradise kau tahu? Kenapa tidak kau nikmati saja pemandangan di sebelah kirimu?”

“Pemandangan apa? Jutaan galon air laut? Aku yakin di Ipanema juga sama.”

Ada banyak cewek-cewek Carioca dengan tanga.”

“Apa? Tangga?”

Tanga! Bikini mikro. Mereka sengaja pakai yang kekecilan. Sepuluh nomor lebih kecil.”

“Oh iya, aku tahu. Tapi setelah beberapa ratus meter berjalan sambil memandangi mereka, aku sudah tak tahu lagi apa yang mesti diperhatikan. Mereka semua sudah kelihatan sama saja.”

“Jangan pandangi secara keseluruhan. Cari bagian-bagian tubuh yang nampak berbeda.”

“Yang lelaki jelas berbeda. Apa kau suruh aku memandangi yang laki-laki juga?”

“Bukan itu maksudku. Di Brazil ahli implan payudara tidak laku, kau tahu?”

“Kenapa? Kau mau pasang implan?”

“Bukan. Di sini perempuan tidak butuh payudara yang besar. Malah yang punya payudara besar ingin dikecilkan. Tapi kalau pantat lain masalah. Implan pantat sangat diminati di sini.”

Temannya geleng-geleng kepala mendengarnya. “Kau tahu darimana sih hal-hal seperti itu? Apa kau selalu mengadakan riset sebelum melancong ke suatu negara? Bagaimana cara mereka makan, apa yang mereka lakukan waktu senggang, seperti itu?”

“Tidak sepenuhnya salah. Aku hanya suka membaca. You’d be surprised what you can find in a book.”

“Memangnya ada buku yang mengatakan bahwa ada sementara orang yang lebih suka menggelembungkan pantatnya ketimbang kantong susunya?”

Sampai di sini senyuman sudah berubah menjadi tawa terbahak-bahak. “Setahuku tidak. Rasanya aku pernah dengar tentang itu. Bukan dari buku.”

“Terserah, deh! Aku mau minum. Bisa kan kita berhenti sebentar? Aku mau beli air mineral. Punyaku sudah habis.”

Mereka berhenti sebentar untuk membeli dua botol air mineral ukuran satu liter dari seorang pedagang minuman keliling. Seorang favelado berkulit legam dari pemukiman kumuh favela di jantung kota Rio. Jumlah mereka banyak sekali. Sungguh mengherankan melihat kemiskinan masih tetap ajeg di negara yang menghabiskan jutaan dolar setiap tahunnya untuk menggelar karnaval megah. Kemiskinan begitu berakar di negara ini. Sungguh kontras dengan semangat mereka untuk berpesta pora.

Di lain pihak, kemiskinan membuat semangat anak-anak favelado tetap berkobar untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Banyak yang menggantungkan harapan mereka pada sepak bola. Sang bintang Ronaldo adalah salah satu dari mereka yang berhasil keluar dari favela mereka yang bobrok, mereguk kemewahan hidup sebagai salah satu bintang sepak bola termahal di dunia. Tapi tetap saja hanya beberapa di antara mereka yang bisa sampai sejauh itu.

Mereka melanjutkan perjalanan, masih sekitar dua mil lagi dari tujuan akhir. Copacabana memang luar biasa, tetapi kau belum pernah ke Brazil kalau belum pernah melihat Ipanema.

“Taksi. Kita harus naik taksi,” kata si gempal terengah-engah, terus berusaha memperbaiki situasi mereka.

“Minum saja airmu. Kita tidak akan naik taksi.”

“Boleh saja kau terobsesi jalan kaki melintasi surga dunia. Tapi kau tidak harus membunuh temanmu dalam prosesnya, bukan?”

“Ha ha ha! Sudahlah. Aku tak akan membiarkan kau mati. Tapi kalau kau mati di sini sekalipun, setidaknya kau tahu pasti masuk surga kan? Sekarang pun dalam keadaan hidup kau sudah berjalan-jalan di dalamnya.”

“Wah aku tak tahu harus menangis atau tertawa bahagia mendengarnya!”

“Suatu hari nanti kau akan mengingat hari ini dan berpikir betapa beruntungnya dirimu.”

“Sekali lagi aku tahu kau yang mengajakku ke sini. Aku tahu betapa dirimu mencintai pantai-pantai eksotik. Tapi pantai tidak hanya ada di Brazil, kan? Aku sendiri lebih suka pantai-pantai di Karibia.”

“Aku juga. Tetapi musiknya beda.”

“Ha? Bawa saja i-Pod dan dengarkan Desafinado di Kuta. Buatku tak ada bedanya. Kenapa harus jauh-jauh ke Brazil untuk mendengarkan bossa nova?”

“Jelas beda lah. Segala sesuatu lebih bagus bila ada di tempatnya berasal. Lebih afdol.”

“Dasar perfeksionis!”

“Kau juga penggemar bossa nova. Mestinya kau mengerti.”

“Jadi kalau mau menikmati salsa kita harus pergi ke Kuba, begitu?”

“Tidak harus.Tapi itu ide bagus! Mungkin akan kupikirkan.”

“Ide bagus yang mahal. Sangat mahal!”

“Ayolah! Mana jiwa romantismu?”

“Romantisme itu masalah lain. Romantisme adalah menemukan makna pada hal-hal kecil yang nampak tak berarti. Pada detil, bukan pada perjalanan melintasi setengah bola dunia.”

“Kau pikir sedang apa aku di sini? Aku sedang menyerap detil-detil, banyak sekali di sini. Di pusatnya.”

“Aku masih tak mengerti obsesimu yang satu ini. Bossa nova memang musik yang indah. Tapi bukan musik yang tak ada di mana-mana. Indah tapi tak lebih dari sekedar musik. Dan hanya itulah bagiku.”

“Tidak kalau kau mengerti kandungan filsafatnya.”

“Filsafat? Ngomong filsafat jauh-jauh ke Brazil? Kau lebih gila dari yang kukira!” untuk pertama kali tawa terdengar dari mulutnya.

“Kau tak mengerti. Bossa nova adalah kontradiksi. Seperti kehidupan di negara ini. Kemiskinan di tengah pesta pora.”

Ucapan ini disambut gelengan kepala. Lebih keras dari yang tadi. “Kau benar. Kontradiksi. Seperti kita berdua ini.”

“Kau tak tahu maksudku. Biar kujelaskan. Ambil contoh satu lagu yang kau tahu.”

“Mendengarkan Desafinado dengan I-pod. Di Kuta.”

“Oke, Desafinado. Kau pikir tentang apa lagu itu?”

“Mana aku tahu? Aku tak bisa bahasa Brazil.”

Brazilian Portuguese. Makanya biar aku jelaskan. Desafinado bercerita tentang cinta yang ditolak. Tentang sakit hati seorang lelaki, dilecehkan wanita yang dicintainya. Se voce disser que eu desafino amor…. saiba que isso em mim provoca imensa dor…”

I was suppose to understand that?”

If you say my singing is off key, my Love…You will hurt my feeling don’t you see, My Love? Itu artinya.”

“Mmmm. Aku juga akan sakit hati kalau dibilang sumbang seperti itu.”

“Bandingkan dengan Corcovado.”

“Aku tahu versi English-nya. This is where I want to be… here with you so close to me…Begitu kan kira-kira?”

“Tepat, my friend! Corcovado adalah tentang kebahagiaan menemukan cinta sejati.”

“Aku mengerti. Kontradiksi. Tapi tiap lagu kan berbeda? Wajar kalau ada kontradiksi.”

“Bukan satu lagu dengan lainnya. Tapi masing-masing lagu itu. Desafinado adalah tentang hati yang terluka, dinyanyikan dengan irama yang gembira. Tapi Corcovado dinyanyikan dengan irama yang sendu, tidak seperti orang yang baru menemukan cinta sejati. Kontradiksi, amigo!”

“Mmmm, nampaknya aku mengerti sekarang. Tidak pernah terpikirkan olehku.”

“Kalau mau lebih jelas ada contoh yang pas. Triste. Versi Inggrisnya Sadness. Dengar judulnya tak perlu aku jelaskan lagi , kan? Lagi-lagi kau akan menemukan banyak orang dansa-dansi diiringi lagu yang berjudul kesedihan itu.”

Si turis membiarkan kata-katanya diendapkan oleh temannya yang pendek dan gempal itu. “Bayangkan apa yang bisa kau dapat dengan pergi melintasi setengah bola dunia,” katanya.

“Kau bisa saja memberitahuku soal itu di rumah. Tidak perlu jauh-jauh mencari matahari di sini!” sahut kawannya hampir menggerutu lagi, namun dengan langkah yang lebih ringan. Langkah mereka makin seirama nampaknya kini. Tawa-tawa kecil makin sering terdengar dari mulut mereka.

“Kini setelah memperoleh pencerahan, aku menduga apakah itu yang kau cari di Ipanema. Kontradiksi?” si gempal memecah beberapa menit keheningan.

“Tidak tepat seperti itu. Tapi bisa dibilang begitu juga.”

Let me guess. Menyanyikan lagu Girl from Ipanema sambil memandang putus asa kepada seorang gadis Carioca tinggi yang berkulit cokelat?”

“Aku membayangkan bagaimana rasanya, ya?”

“Aku yang sudah beristri ini ingin tahu juga bagaimana.”

Sejenak si gempal menangkap kesunyian yang tercermin di wajah temannya. “Seperti yang kau rasakan dengan gadis itu di Jakarta?”

Mendadak Rio de Janeiro terasa seperti kota tersunyi di dunia.

I’m sorry, Man. Tak seharusnya aku mengingatkan dirimu tentang dia. Anyway, itulah alasanmu mengajakku berlibur ke sini, kan?”

“Lebih tepat lagi: memaksamu mengambil cuti ke sini,” sahutnya sambil memaksakan senyum. Kelihatan sekali. Memaksakan senyum.

Well, it’s worth it. Lagipula mana bisa orang menolak ditraktir jalan-jalan ke luar negeri? Kau tak memaksaku. Aku yang memaksakan cuti.”

Mereka sudah mulai meninggalkan Copacabana. Jalan membelok masuk ke daratan memotong sebuah tanjung, Ponta do Arpoador. Dari sini pantai Ipanema sudah tinggal beberapa ratus meter lagi. Hari sudah mendekati pukul tiga sore. Sore yang indah di Brazil.

“Kita cari kafe yang nyaman di Ipanema nanti. Satu jam cukup untuk makan dan minum? Setelah itu kita kembali ke hotel. Aku janji kali ini kita pulang naik taksi.”

“Setelah dua jam melintasi matahari? Tidak! Kita tinggal sampai sunset. Sudah jauh-jauh jalan kaki kau ingin cepat-cepat pulang?”

Ingin tertawa terbahak-bahak dia memandangi temannya yang gempal basah itu. “Kau yakin?” tanyanya.

“Yakin sekali! Aku juga ingin merasakan kontradiksimu yang mahal itu.”

Bossa nova, my friend. Bukan kontradiksi.”

Whatever. Bossa nova, samba, lambada, Santana, Tito Puente, apalah.”

“Santana dan Tito Puente bukan orang Brazil, kawan. Latin tapi bukan Brazil.”

“Oh, kau mau merusak mood-ku yang sudah baikan ini dengan diskusi lagi? Apa lagi sekarang? Budaya Amerika Latin?”

“Oke, oke,” tukasnya cepat, takut melihat wajah kawannya yang sudah mulai menggerutu lagi. “Jangan judes begitu, ah!”

“Harap maklum. Seharusnya aku bersama istriku di sini. Kami tak sempat bulan madu setelah menikah dulu. Siapa sangka aku akan bulan madu bersama seorang laki-laki yang terobsesi dengan musik bernada miring?”

“Kali ini kau benar, kawan. Bossa nova is a crooked song. Lagu-lagu bernada miring. Bagus sekali komentarmu! Kau memang penuh kejutan.”

“Itulah Scorpio. Tidak seperti dirimu. Kalian para Libra memang gampang ditebak. Sulit, tapi tak susah ditebak.”

“Sekarang kau yang mau mengajakku berfilsafat tentang sifat manusia?” katanya menggoda temannya yang kini semakin cepat langkahnya.

“Apa yang ingin kau ketahui? Aku bisa bicara panjang lebar tentang zodiac sambil minum Pina Colada di kafe nanti.”

“Aku lebih pilih guarana. Jus buah asli Brazil.”

“Terserah. Aku mau Pina Colada. Boleh, Joe Carioca?”

“Boleh, Donald Duck,” jawabnya kini tak bisa menahan tawa.

“Kita cari tempat yang nyaman dekat pantai, memesan minuman dan makanan sambil pasang mata mencari gadis yang tall and tanned and young and lovely.”

“Hati-hati! Bisa-bisa kau jadi orang Brazil sungguhan.”

“Memang kenapa? Kita bisa duduk-duduk di sana seperti Jobim dan de Moraes tahu kau bisa menulis lagu sepulang dari sini.”

Sejenak si gempal memesonakan kawannya. “Tahu dari mana kau? Memang begitu proses terciptanya lagu Girl from Ipanema. Dua orang musisi

terkemuka Brazil, duduk-duduk di sebuah kafe di Ipanema sambil memandang seorang gadis cantik yang lewat hanya untuk membeli rokok buat bibinya. Hampir tiap hari.”

“Bukan cuma kau yang suka baca. Aku tahu dari internet.”

“Luar biasa! Tak percuma aku mengajakmu.”

“Akuilah. Temanmu ini memang luar biasa,” jawab si gempal sambil tertawa.

Sambil tertawa pula mereka berjalan ke arah barat memasuki gerbang Avenida Vieira Souto. Tepian Ipanema yang riuh di sebelah kiri mereka. Di sebelah kanan deretan kafe ramai mengalunkan lagu-lagu samba dan bossa nova melalui loud speaker mereka. Sesekali terdengar sayup-sayup lagu Garota de Ipanema, “Olha que coisa mais linda mais cheia de graca… Tall and tanned and young and lovely, the girl from Ipanema goes walking… And when she passes I smile, but she doesn’t see…

Ke sanalah kaki-kaki mereka melangkah. Sejenak terbayang seorang gadis, ribuan kilometer dari sini, cinta yang bertepuk sebelah tangan, serta mahalnya ongkos yang diperlukan untuk melupakannya. Atau mungkin justru untuk mengenangnya. Vakansi melintasi setengah planet bumi. Pedihnya hati menyanyikan lagu yang terdengar segar. Tak pernah hal-hal yang bertentangan terasa begitu indah.

(Supposedly) Rio de Janeiro, Brazil

November 30th 2006





Tidak ada komentar: