Kamis, 27 Maret 2008

Tentang Wimar Witoelar

Mungkin semua orang kenal, pernah melihat atau sekedar tahu orang yang namanya Wimar Witoelar ini. Badan tambun, rambut keriting, mata sipit. Pernah punya acara sendiri di televisi, dan sekarang punya lagi setelah sekian lama. Saya sendiri termasuk golongan orang yang tahu dan pernah lihat. Kenal? Belum. Mudah-mudahan akan kenal dalam waktu yang tidak lama lagi. Entah kenapa saya membuat tulisan ini. Saya merasa tidak punya kapasitas apa-apa untuk menulis tentang Pak Wimar. Mungkin tulisan ini merupakan sebuah ‘siasat’ untuk bisa kenalan dengan beliau. Akhir-akhir ini saya punya keinginan besar untuk punya kenalan orang-orang terkenal dan pintar macam beliau. Bisa bilang dia pintar, padahal belum kenal? Oke, kita listing prestasinya. Pengusaha sukses, seperti yang sudah disebutkan di atas beliau adalah bintang acara di televisi, tulisan-tulisannya dimuat di berbagai macam media, dan pernah jadi juru bicara presiden. Cukup?

Jika ada dua pilihan : kenalan dengan Wimar Witoelar atau kenalan dengan Luna Maya? Pasti saya sabet semua pilihan tersebut. Masalahnya di sini bukanlah terlihat seperti apa orangnya. Secara fisik Pak Wimar bukanlah tandingan Luna Maya. Tapi tetap saja mereka berdua tidak bisa dibandingkan. Masing-masing berdiri di ranah yang berbeda. Fungsinya berbeda. Tapi keduanya sama-sama hebat, buat saya.

Lupakan Luna, kembali ke Pak Wimar. Saya selalu bertanya-tanya, orang-orang macam apa yang jadi pengagum beliau? Tentu saja kalau dibandingkan, saya berani bertaruh, jumlah penggemar Luna Maya pasti jauh lebih banyak daripada jumlah penggemar Pak Wimar (sedikit kembali ke Luna). Saya pikir penggemar Pak Wimar banyak dari kalangan profesional, akademisi, politisi, seniman, orang-orang media atau paling tidak orang-orang yang suka baca segala macam buku atau tulisan (benar tidak, Pak?).

Saya pernah baca buku beliau, A Book About Nothing, sebuah buku kumpulan tulisannya yang pernah dimuat di majalah Djakarta! Secara sekilas buku itu memang bukan tentang apa-apa. Nothing. Tapi saya yakin banyak yang baca dan suka buku itu. Dengan sedikit arogan saya bilang, “Ah, gue juga bisa nulis buku kaya gitu..”. Nah, di sini masalahnya. Kalu saya yang menulis buku itu, apa ada yang mau beli? Lebih parah lagi, apa ada yang mau menerbitkan? Itulah bedanya Pak Wimar dengan saya. Di tangannya, buku yang nothing itu bisa jadi something. Even, way beyond something. Itulah enaknya jadi orang terkenal, pintar dan kalau ngomong didengar orang. Punya Midas touch. Buat saya yang ingin jadi penulis top, bisa membayangkan enaknya jadi beliau. Apa yang saya tulis orang pasti baca. Walaupun agak segmented, yang jelas pasti ada yang baca. Maaf ya, Pak, kalau saya bilang segmented. Bukannya benar begitu? Tidak semua orang baca buku dan nonton acara Bapak. Paling tidak itu yang saya kira. Yang penting kan kualitas orang-orang yang termasuk dalam segmentasi itu. Bukannya saya meremehkan orang yang tidak baca buku Pak Wimar atau yang tidak mengagumi Pak Wimar. Editor saya orang pintar, tahu tentang Pak Wimar, tetapi saya tidak yakin dia pernah baca buku paling tidak yang judulnya tersebut di atas. Bukan tidak suka, barangkali hanya belum tahu. Malah editor saya bilang ,”Kalau bisa kenal dengn Pak Wimar itu bagus sekali. Siapa tahu bisa diwawancara untuk majalah kita.”

Sampai di sini saya masih belum tahu maksud tulisan ini. Basic knowledge saya masih belum banyak untuk membuat tulisan tentang Wimar Witoelar. Orang kenal saja tidak. Terus apa maksud tulisan ini? Analisis yang terstruktur? Bukan. Suatu usaha untuk mengkultuskan seseorang? Wuih! Memangnya Pak Wimar pantas dikultuskan? Saya yakin beliau pasti ndak mau dikultuskan. Apa lagi sampai dibuatkan patungnya.

Pokoknya tiba-tiba saja saya pengen menulis tentang beliau. Dasarnya simple saja. Rasa kagum terhadap beliau. Rasa ingin mengenal beliau secara pribadi. Mungkin sedikit alasan, karena editor saya menekankan pentingnya banyak berlatih menulis artikel. Rasanya senang kalau bisa ngobrol dengan beliau. Minimal chatting lewat Yahoo Messenger. Atau memasukkannya ke dalam friend list di Friendster atau Facebook. Jadi rasanya mungkin benar juga maksud tulisan ini adalah siasat biar Pak Wimar mau kenalan dengan saya. Pasti saya akan terus-terusan berhubungan dengan Pak Wimar kalau sudah kenal. Lewat email, sms (karena biaya telepon mahal), chatting atau ketemu terus ditraktir ngupi-ngupi sambil ngobrol about nothing.

Dapat kesempatan untuk mengorek isi kepala Pak Wimar. Curi-curi ilmu lah. Wah, enaknya! Sampai suatu saat saya mulai jarang berhubungan dengan beliau. Itu tandanya saya sudah mulai sering chatting, sms-an (karena biaya telepon mahal) dan ketemu Luna Maya…

Tidak ada komentar: