Kamis, 09 Oktober 2008

Bir Hitam

Dirinya tersentak bangun dari tidur ayam ketika dahinya terantuk kaca jendela taksi yang dingin berembun. Cuaca Dublin bulan Januari memang mengerikan. Jaket panjang musim dingin di atas kemeja denim dan sweater wol tebal serasa tak ada artinya. Tapi di luar sana, di sepanjang trotoar O’Connell Street, lalu lalang manusia menjelang jam makan siang nampak tak terusik musim dingin Irlandia. Tak heran banyak pemabuk berkeliaran di kota Dublin, di tengah hari sekalipun. Alkohol memang obatnya dingin yang menusuk tulang.

“Gila dinginnya! Hei, bilang sama si supir! Naikkan suhu pemanas,” katanya kepada teman seperjalanan di sampingnya.

Si teman yang sudah hafal sifat kawannya yang suka complaint hanya tersenyum. “Rasanya sudah mentok. Aku bisa melihat tombol pemanas di dashboard. Penuh diputar ke kanan,” sahutnya enteng.

Temannya yang bertubuh tambun pendek mengeluarkan gerutuan singkat. “Lagipula buat apa sih, kau memaksaku bangun pagi-pagi? Lebih baik tinggal di kamar hotel yang hangat. Untung salju tidak turun. Aku benci salju!”

“Apa yang kau harapkan? Memang begini Januari di Eropa,” jawab temannya yang langsing, berkaca mata dan berambut panjang sebahu itu.

“Aku kira London sudah parah dinginnya. Tapi ini benar-benar kelewatan! Aku hampir-hampir tak bisa merasakan jari-jariku sendiri,” lanjutnya. “Kurasa masih banyak tempat di Eropa yang lebih hangat. Aku jadi kepingin ke Ibiza.”

“Sesuaikan waktunya, dong! Kalau mau ke Ibiza waktu musim panas. Lebih banyak baju yang terbuka di sana saat itu,” jawab temannya sambil terkekeh.

“Aku tahu ini jalan-jalan gratis darimu buatku. Aku tak bisa seenaknya minta ke sana ke sini. Tak ada demokrasi kalau temanmu yang menanggung biaya perjalananmu.”

“Aku tahu itu,” jawab temannya lagi dengan senyum kemenangan yang benar-benar lebar pada wajahnya.

“Ya sudah, aku ikut saja,” tukasnya kalah. Atau mengalah. “Mau ke mana sih kita?” tanyanya lagi. Pandangannya tetap terarah ke pinggiran jalan di luar. Sesekali nampak beberapa orang tinker, gipsi khas Irlandia, dengan pakaiannya yang lusuh. Kelihatan sekali. Bahkan nampak berbeda jelas dengan para pemabuk, yang juga nampak dekil, yang bukan dari golongan orang-orang gipsi itu.

“Ke suatu tempat yang sudah tua sekali. Nanti kau juga tahu.”

“Perjalanan budaya lagi? Salah satu obyek wisata yang kau baca di sebuah buku? Otakmu itu sudah seperti perpustakaan saja. Dasar ensiklopedi berjalan!”

“Mau bagaimana lagi. Hobiku memang membaca dan selalu ingin tahu. You know,…”

I know, I know. You’d be surprised what you can find in a book. Ya, kan?”

“Itu juga. Tapi bukan itu yang mau aku bilang. Aku mau bilang I’m a hopeless romantic.”

Si tambun mengalihkan pandangan dari jalanan ke wajah temannya yang tersenyum garing. “Romantis? Kau tidak sedang jalan-jalan dengan seorang Irish girl bermata hijau yang kecantikannya seperti peri abad pertengahan. Kau sedang jalan dengan aku,” katanya sambil menunjuk hidungnya sendiri. “Seorang laki-laki yang meninggalkan istrinya sendirian di rumah demi sebuah pesiar gratis.”

“Jadi kau menyesal kuajak ke sini?”

“Bukan begitu. Hanya saja pilihan kata-katamu terkadang menggoncangkan jiwa orang yang mendengarnya. Romantis, heh heh,” kekehnya.

“Ah, sempit kau! Romantis tidak hanya soal cewek, tahu? Lagi pula aku lebih suka gadis tropis berambut gelap. Di sini terlalu banyak yang pirang.”

Men prefer blonde, you know?”

Not me, mate. Not me,” jawab temannya dengan dialek Gaelic.

“Oh, tadi kau seorang romantis. Sekarang apa? Seorang ahli bahan peledak dari IRA?”
Sang kawan tersenyum sambil menggerakkan alisnya naik turun. Hobinya memang banyak. Selain membaca, musik dan gila bola dia juga hobi menonton film-film gangster Italia dan film-film teroris Irlandia. Dia bahkan belajar menirukan bahasa Inggris dengan dialek Italia dan Irlandia.

“Oh, aku tahu!” lanjut si tambun. “Kau ingin mencari kaos sepak bola yang langka, kan?”

“Aku bilang tempat yang sudah tua sekali. Bukan toko peralatan olah raga yang modern.”

“Menyerah aku kalau kau sudah main misterius begitu. Terserah kau saja. Mau ke puri abad pertengahan juga boleh.”

“Ha ha ha! Oke,oke, akan kuberitahu. Kita mau ke Brazen Head Hotel. Pub tertua di Irlandia. Dibangun tahun 1660. Kira-kira begitulah.”

“Jauh-jauh ke sini hanya mencari pub? Memangnya di Jakarta tidak ada?”

“Aku mau minum bir hitam, stout yang pekat dan asli Irlandia.”

“Bir hitam? Sekali lagi, memangnya di Jakarta tidak ada yang jual bir hitam?”

“Tapi di Jakarta tak ada yang menghidangkannya hangat-hangat. Lagipula kau kan tahu. Aku suka kalau…”

“Ya, ya, aku tahu. Langsung di pusatnya. Langsung ke jantung. Perfeksionis malang kau ini,” tukasnya sambil tertawa. “Oke, kita ke pub-mu itu. Lagipula ini waktunya makan siang. Di sana juga jualan makanan, kan?”

“Kurasa iya,” jawab temannnya enteng. “Driver, langsung ke Brazen Head.”

Yes, Sir. Brazen Head, Sir,” jawab sang supir taksi.

“Jangan bilang. Semua supir taksi di Irlandia tahu di mana tempat itu?” tanya si gempal.

“Sudah kubilang. It’s the oldest pub in Ireland, mate,” jawab temannya.
Taksi melaju melewati O’Connell Statue terus menuju O’Connell Bridge melintasi sungai Liffey yang membelah kota Dublin dari barat ke timur. Setelah itu membelok ke kanan ke arah barat di Usher’s Quay, sisi sebelah selatan sungai.
Sepuluh atau lima belas menit kemudian taksi berhenti. Mereka berdua bergegas turun dan berjalan ke arah sebuah gang yang nampak sudah ada di situ selama ratusan tahun. Tempat itu berada di bawah naungan bayang-bayang Christ Church Cathedral.

“Hei, hei, apa ini?” tanya si gempal. “Waktu kau bilang Brazen Head Hotel aku kira kita akan memasuki lobi sebuah hotel tua yang setidaknya sedikit mewah, walaupun tua. Tapi kita berjalan masuk gang.

“Ini cuma sebuah hotel kecil, kawan.”

“Heran. Jauh-jauh ke Eropa masuk gang juga. Lagipula tahu saja kau tempat seperti ini. Gang di Jakarta saja aku tak hafal.”

“Aku sudah bilang. Banyak baca dan….”

“Sudah! Cukup! Aku tahu, “ tukasnya cepat.
Pub itu ada di ujung gang. Mereka bukan satu-satunya orang yang berjalan menuju ke sana mengingat ini waktunya makan siang. Kecemasan akan tak tersedianya meja kosong tiba-tiba merayapi tubuh mereka.
Tapi segera nampak tak ada alasan buat merasa cemas. Walaupun banyak orang, suasana masih nampak lengang. Segera mereka menuju sebuah meja kecil dengan dua buah kursi di pojok ruangan.
Sambil mengambil tempat mereka membiarkan atmosfir ruangan menyusup ke benak mereka masing-masing. Alunan musik jazz, Sinatra, mengapung di udara bersama kepulan asap rokok. Pada sebuah papan pengumuman di dekat bar, tertulis ‘Only Traditional Irish Music allowed in this bar’. Mereka berdua membacanya dan tersenyum. Frank Sinatra tidak sedang menyanyikan Danny Boy.

“Waiter,” sahut si langsing melambai kepada seorang pelayan laki-laki.
Sejenak kemudian si pelayan tiba di meja mereka siap mencatat pesanan.

Wha’ would it be, Sirs?” tanyanya dengan keramahtamahan khas Irlandia.

“Dua steak terbaik anda dan dua pint Guiness,” pesan si langsing.

“Ho, tunggu!” sergah kawannya yang gempal. “Kau tahu aku sudah tidak minum bir lagi?” Sejak operasi pengangkatan tumor jinak di paru-parunya tiga tahun yang lalu, dia memang sudah berhenti merokok dan minum alkohol. “Pesankan aku ginger ale saja,” tambahnya.

“Apa? Berhenti merokok aku mengerti. Tapi apa salahnya segelas bir? Kau dulu bilang sendiri, hobi minum tak ada kaitannya dengan sakitmu,” protes si langsing.

“Aku tahu. Cuma sudah cukup lama aku tak minum. Sayang rasanya kalau aku mulai sekarang.”

Oh, my God! Waiter, listen here! Kami sudah jauh-jauh datang melintasi dunia dan temanku ini menolak menikmati your Irish delight. Bukan karena dia tak suka, tapi karena…. tak tahu kenapa,” kata si langsing kepada si pelayan sambil tertawa.

Oh, that’s a trip wasted Sir. Sayang sekali. That’s what everybody came here for. It’s only have been for quite a few hundred years or so, Sir. Wha’ a shame, Sir,” sahut si pelayan.
See? Apa kubilang? Sudahlah, waiter. Bawa saja dua pint Guiness hangat ke sini,”

Right, Sir,” jawab sang pelayan berlalu.

And a glass of ginger ale!” teriak si gempal sebelum si pelayan berjalan terlalu jauh. “Memang tak ada hubungannya dengan sakitku dulu itu, sih. Tapi setelah tergolek beberapa bulan di rumah sakit aku jadi terbiasa tidak minum. Rasanya sayang, sudah berusaha sekian lama berhenti minum.”

“Sudahlah, segelas tak akan membuatmu mabuk. Hawa dingin ini tak akan membiarkan kita mabuk. Lagipula kau dulu peminum yang kuat.”

“Dulu, kawan. Dulu.”

“Dulu kau tidak sedang berada di Dublin. Tapi ini sekarang. Sekarang kau di Dublin, tempat yang kutahu dalam mimpi saja belum pernah kau kunjungi.”

“Aku tahu, tapi….”

“Tak ada tapi! Kau harus minum. Ingat, demokrasi tidak berlaku di sini. Kau minum kalau aku bilang minum. Understood? Capische? Comprende? Mengerti?”

“Tunggu sampai aku selesai bicara! Jangan potong aku dengan seluruh isi kamus bahasa dunia. Bukan itu yang kumaksud,” kata si gempal agak tersinggung karena temannya mengingatkan dirinya. Selama di sini dia jadi tanggungan kawannya itu.

“Maaf, kawan. You were sayin’?”

“Aku bilang aku tahu. Tapi….”

“Tapi apa?”

“Tapi…. Apakah, memang harus…… hangat?” tanyanya terbata-bata. “Aku biasa minum bir dingin. Dengan es batu, kau tahu?”

Tawa meledak dari meja kecil di pojok itu.
“Sepertinya baru saja kau mengeluh tentang taksi yang seperti peti es itu. Kau mau bir dingin? Sudah gila kau?” sahut temannya hampir kehabisan nafas karena terbahak. “Di sini bir hitam diminum hangat. Langsung dari gentong.”

“Terserah kau sajalah,” sahut temannya membela diri, merasa diolok-olok.

“Belum ke Bali kalau belum ke Joger. Belum ke Irlandia kalau belum minum stout hangat!”

“Aku bilang, terserah kau saja lah. Sekali lagi protes, bisa-bisa kau tinggal aku di negara beku ini.”

“Benar, kawanku tersayang!” kata temannya menyeringai lebar setengah mengancam. “Tapi, beku? Kau belum pernah ke Moskow di musim dingin. Negara beku! Ha ha ha! You have no idea, my friend!”

“Kenapa? Kau mau mengajakku ke Moskow dan membujukku menenggak vodka di sana? Setelah segelas besar bir hitam hangat di sini, who knows? Anything’s possible, mate,” si tambun mengerdip nakal.

Berjalan di Red Square. Sepertinya ide yang bagus. Bagus sekali malahan!
The Brazen Head perlahan-lahan makin terasa penuh sesak.

(Supposedly) Dublin, Ireland
November 30th 2006

Jumat, 28 Maret 2008

The Seven Ages of Men

Seorang penulis pernah menulis dan saya pernah membaca bahwa, perkembangan seorang lelaki dibagi atas tujuh tahap masa. Akan saya kutip dan sedikit tambahkan. Tahap pertama adalah masa di mana dia ingin menjadi seorang masinis kereta api atau seorang pembalap. Tahap kedua adalah masa di mana ia ingin menjadi seorang detektif atau seorang superhero. Tahap ketiga adalah masa di mana ia ingin menjadi seorang Adonis, seorang model idola, a rockstar atau paling tidak seorang pria metroseksual. Tahap keempat, masa ia ingin menjadi seorang serdadu atau seorang pelaut, macho man. Tahap kelima, seorang pengusaha sukses atau seorang milyuner. Tahap keenam seorang raja atau presiden. Tahap yang terakhir adalah masa di mana ia ingin menjadi seorang anak lelaki, a boy.

Anda bisa mengira-ngira sendiri pada usia berapa saja tahap-tahap tersebut berlangsung, tergantung perkembangan kedewasaan tiap pelaku. Tiap lelaki tentu saja berbeda. Saya sendiri mengalami hampir semua tahap itu. Bahkan saya mengakui bahwa saat ini saya sedang dalam tahap terakhir. Krisis paruh baya? Mungkin. Kita sebagai manusia dewasa seringkali mengingkari hadirnya seorang anak-anak dalam diri kita walaupun pada akhirnya harus mengakui enaknya menjadi seorang anak kecil yang jujur, polos dan bebas kontaminasi.

Terlepas dari itu semua, saat ini saya sedang menikmati terwujudnya keinginan dan kesenangan menjadi seorang jurnalis atau seorang penulis. Bukan dilihat dari segi materi, tapi lebih dari sisi kepuasannya saja. Walaupun tak disebutkan di atas, saya akan menggolongkan keinginan menjadi seorang jurnalis pada tahap kedua. Ketika kecil saya suka membayangkan diri menjadi tokoh superhero favorit saya seperti Superman atau Spiderman. Kedua tokoh itu memiliki alter-ego seorang jurnalis, Clark Kent yang seorang wartawan Daily Planet dan Peter Parker yang seorang fotografer Daily Bugle. Pada masa itu saya memiliki rasa kagum yang sangat besar terhadap profesi wartawan atau jurnalis. Nampaknya mereka adalah orang-orang yang pintar, banyak tahu. Sampai sekarang bahkan, saya paling tertarik melihat seorang jurnalis perempuan, apalagi yang cantik. Makanya sebagian besar perempuan terkenal yang saya gandrungi kebanyakan adalah jurnalis. Yang cantik-cantik jelas. Contohnya Kania Sutisnawinata, Ira Koesno, Zelda Savitri, Rahma Sarita, Fifi Aleyda Yahya, Ratna Dumila dan masih banyak lagi. Personifikasi seorang Lois Lane. Bahkan sebagian sudah terdaftar dalam friend list saya di Friendster, saking gandrungnya. Rasanya suka sekali melihat mereka, cantik dan pintar. Dua kualitas yang paling saya kagumi pada perempuan.

Kembali kepada pokok bahasan, pokoknya saya mengakui kebenaran yang diungkapkan oleh seorang penulis itu. The seven ages of men. Bahkan bisa dibilang sekarang saya sedang mengalami semua tahap sekaligus. Menurut The Secret, itu mah sah-sah saja tokh?

Kamis, 27 Maret 2008

Tentang Wimar Witoelar

Mungkin semua orang kenal, pernah melihat atau sekedar tahu orang yang namanya Wimar Witoelar ini. Badan tambun, rambut keriting, mata sipit. Pernah punya acara sendiri di televisi, dan sekarang punya lagi setelah sekian lama. Saya sendiri termasuk golongan orang yang tahu dan pernah lihat. Kenal? Belum. Mudah-mudahan akan kenal dalam waktu yang tidak lama lagi. Entah kenapa saya membuat tulisan ini. Saya merasa tidak punya kapasitas apa-apa untuk menulis tentang Pak Wimar. Mungkin tulisan ini merupakan sebuah ‘siasat’ untuk bisa kenalan dengan beliau. Akhir-akhir ini saya punya keinginan besar untuk punya kenalan orang-orang terkenal dan pintar macam beliau. Bisa bilang dia pintar, padahal belum kenal? Oke, kita listing prestasinya. Pengusaha sukses, seperti yang sudah disebutkan di atas beliau adalah bintang acara di televisi, tulisan-tulisannya dimuat di berbagai macam media, dan pernah jadi juru bicara presiden. Cukup?

Jika ada dua pilihan : kenalan dengan Wimar Witoelar atau kenalan dengan Luna Maya? Pasti saya sabet semua pilihan tersebut. Masalahnya di sini bukanlah terlihat seperti apa orangnya. Secara fisik Pak Wimar bukanlah tandingan Luna Maya. Tapi tetap saja mereka berdua tidak bisa dibandingkan. Masing-masing berdiri di ranah yang berbeda. Fungsinya berbeda. Tapi keduanya sama-sama hebat, buat saya.

Lupakan Luna, kembali ke Pak Wimar. Saya selalu bertanya-tanya, orang-orang macam apa yang jadi pengagum beliau? Tentu saja kalau dibandingkan, saya berani bertaruh, jumlah penggemar Luna Maya pasti jauh lebih banyak daripada jumlah penggemar Pak Wimar (sedikit kembali ke Luna). Saya pikir penggemar Pak Wimar banyak dari kalangan profesional, akademisi, politisi, seniman, orang-orang media atau paling tidak orang-orang yang suka baca segala macam buku atau tulisan (benar tidak, Pak?).

Saya pernah baca buku beliau, A Book About Nothing, sebuah buku kumpulan tulisannya yang pernah dimuat di majalah Djakarta! Secara sekilas buku itu memang bukan tentang apa-apa. Nothing. Tapi saya yakin banyak yang baca dan suka buku itu. Dengan sedikit arogan saya bilang, “Ah, gue juga bisa nulis buku kaya gitu..”. Nah, di sini masalahnya. Kalu saya yang menulis buku itu, apa ada yang mau beli? Lebih parah lagi, apa ada yang mau menerbitkan? Itulah bedanya Pak Wimar dengan saya. Di tangannya, buku yang nothing itu bisa jadi something. Even, way beyond something. Itulah enaknya jadi orang terkenal, pintar dan kalau ngomong didengar orang. Punya Midas touch. Buat saya yang ingin jadi penulis top, bisa membayangkan enaknya jadi beliau. Apa yang saya tulis orang pasti baca. Walaupun agak segmented, yang jelas pasti ada yang baca. Maaf ya, Pak, kalau saya bilang segmented. Bukannya benar begitu? Tidak semua orang baca buku dan nonton acara Bapak. Paling tidak itu yang saya kira. Yang penting kan kualitas orang-orang yang termasuk dalam segmentasi itu. Bukannya saya meremehkan orang yang tidak baca buku Pak Wimar atau yang tidak mengagumi Pak Wimar. Editor saya orang pintar, tahu tentang Pak Wimar, tetapi saya tidak yakin dia pernah baca buku paling tidak yang judulnya tersebut di atas. Bukan tidak suka, barangkali hanya belum tahu. Malah editor saya bilang ,”Kalau bisa kenal dengn Pak Wimar itu bagus sekali. Siapa tahu bisa diwawancara untuk majalah kita.”

Sampai di sini saya masih belum tahu maksud tulisan ini. Basic knowledge saya masih belum banyak untuk membuat tulisan tentang Wimar Witoelar. Orang kenal saja tidak. Terus apa maksud tulisan ini? Analisis yang terstruktur? Bukan. Suatu usaha untuk mengkultuskan seseorang? Wuih! Memangnya Pak Wimar pantas dikultuskan? Saya yakin beliau pasti ndak mau dikultuskan. Apa lagi sampai dibuatkan patungnya.

Pokoknya tiba-tiba saja saya pengen menulis tentang beliau. Dasarnya simple saja. Rasa kagum terhadap beliau. Rasa ingin mengenal beliau secara pribadi. Mungkin sedikit alasan, karena editor saya menekankan pentingnya banyak berlatih menulis artikel. Rasanya senang kalau bisa ngobrol dengan beliau. Minimal chatting lewat Yahoo Messenger. Atau memasukkannya ke dalam friend list di Friendster atau Facebook. Jadi rasanya mungkin benar juga maksud tulisan ini adalah siasat biar Pak Wimar mau kenalan dengan saya. Pasti saya akan terus-terusan berhubungan dengan Pak Wimar kalau sudah kenal. Lewat email, sms (karena biaya telepon mahal), chatting atau ketemu terus ditraktir ngupi-ngupi sambil ngobrol about nothing.

Dapat kesempatan untuk mengorek isi kepala Pak Wimar. Curi-curi ilmu lah. Wah, enaknya! Sampai suatu saat saya mulai jarang berhubungan dengan beliau. Itu tandanya saya sudah mulai sering chatting, sms-an (karena biaya telepon mahal) dan ketemu Luna Maya…

Menjadi Kaya

Sebuah anekdot senantiasa menggelitik akal sehat saya.

Syahdan, Abunawas sedang kumat isengnya. Dia pergi mengunjungi si Fulan, orang terkaya di desanya.

Katanya, “Wahai Fulan. Benarkah kau orang terkaya di desa kita ini?”

Jawab Fulan, “Wahai Abunawas. Benarlah itu adanya.”

“Berapa jumlah kekayaanmu?” selidik Abunawas kemudian.

“Tak kurang dari sepuluh ribu keping uang emas,” bangga si Fulan.

“Maukah kau jika kuberi seribu keping uang emas?” tanya Abunawas.

“Oh, jelas! Siapa pula yang tak mau?” kata si Fulan sambil menyeringai lebar.

“Wahai temanku Fulan yang malang! Berarti kau masih miskin,” ujar Abunawas.

Kontan seringai Fulan lenyap berganti kerut di dahi.

“Kenapa pula kau berkata begitu?” tanya Fulan kebingungan.

“Kau bilang punya tak kurang dari sepuluh ribu keping uang emas. Tapi kau masih silau dengan seribu keping. Oh, sahabatku yang malang!” kata Abunawas sambil berlalu, meninggalkan Fulan yang hanya bisa melongo.

Saya pernah dan rasa-rasanya masih ingin menjadi orang kaya raya. Tapi mungkin kini pengertian saya tentang kekayaan banyak bergeser. Kaya yang saya pahami dulu adalah memiliki setumpuk uang dan terus ingin menumpuknya. Jika saya menghabiskan setumpuk, masih akan ada setumpuk lagi untuk dihabiskan, dan setumpuk lagi kemudian, dan terus lagi. Pendek kata, definisi kaya adalah memiliki lebih, mungkin lebih dari yang saya butuhkan.

Tapi sekarang, mudah-mudahan saya tidak munafik, pengertian itu telah berubah. Kaya adalah tidak merasa kekurangan. Bagaimana kita bisa merasa tidak kekurangan? Yaitu bila semua kebutuhan kita terpenuhi. Secara ekstrim bisa dikatakan bila kita telah merasa tak memerlukan apa-apa lagi, paling tidak secara materi. Buat apa kita menumpuk kekayaan jika hanya ditumpuk? Uang takkan berarti apa-apa jika hanya ditumpuk, tidak dimanfaatkan, tidak dibelanjakan. Buat apa menumpuk kekayaan jika mendatangkan rasa takut? Takut uang kita hilang, dicuri, habis. Tak tenang jadinya. Hati kita dikuasai ketakutan, kekuatiran. Hati kita jadi miskin. Inilah yang terjadi di negeri kita. Banyak orang menumpuk kekayaan. Sudah kaya dan berkuasa, masih terasa kurang. Akhirnya hak orang dilangkahi. Apa saja dijalani, biar tambah kaya. Jadi maling, korup. Yang model begini mah segudang di Indonesia. Artinya bangsa kita masih miskin.

Kaya hati ternyata lebih penting. Bikin tenteram, damai. Toh uang hanya titipan. Dalam setiap jumlah rezeki yang kita terima, sebagian adalah hak orang lain. Uang adalah amanah. Harus mendatangkan manfaat buat orang, dan buat kita sendiri. Kalau hanya ditumpuk, apa manfaatnya? Bukan berarti kita harus royal. Tebar-tebar uang, tidak memperhatikan keperluan kita. Sejahterakan diri sendiri, baru bisa bederma. Kalau buat kita sudah cukup, sisanya sedekah.

Jadi sekarang bahasanya sudah berubah. Saya tidak lagi ingin jadi orang kaya raya. Saya ingin jadi orang yang serba cukup, tidak kekurangan. Yah, begitulah. Cukup satu rumah, satu apartemen, satu pulau, satu helikopter, satu pesawat pribadi, satu yacht, satu Harley Davidson, satu Ferrari, satu Maybach, satu Bentley, satu…. hehehehehehe….

Aku Ingin Bangsa Ini Aku Tak Ingin Bangsa Ini

Aku tak ingin ada orang yang kalah lalu mengumpulkan orang banyak dan membayar mereka untuk menggoyang yang menang.

Bilang yang menang itu curang, menuntut hitung ulang atau mulai merusak dan bakar-bakar.

Kalau tim kesayangan ditundukkan, tim lawan dilempari. Wasit dikejar, dipukuli. Stadion dirusak, mobil dibakar, tawuran, jalanan jadi mcet total. Wajah bangsa dicoreng. Pengurus dibilang tak becus, wajar. Wong pimpinannya saja narapidana. Di dunia ini mana ada organisasi besar yang pimpinannya duduk di balik jeruji penjara? Adanya ya di Indonesia. Disuruh mundur tak mau. Seperti tak punya malu.

Aku ingin bangsa ini legowo, berhati besar.

Aku tak ingin lihat birokrat memanfaatkan jabatan, mempersulit orang.

Biar urusan cepat selesai minta disogok, dikasih uang. Padahal sudah digaji untuk bekerja, melayani orang

Aku ingin bangsa ini jujur, tidak asal cari peluang.

Aku ingin bangsa ini menghargai pegawainya. Kasih mereka bayaran tinggi biar tidak terus cari sampingan.

Aku tidak ingin lihat orang buang sampah sembarangan.

Aku tidak ingin lihat orang ngetem, bikin macet jalanan.

Aku tidak ingin lihat orang nyebrang seenaknya.

Aku tidak ingin lihat orang melanggar peraturan.

Aku tidak ingin lihat orang gelantungan di bus, naik di atap gerbong kereta.

Kalau jatuh, bikin repot aparat. Nanti masuk televisi. Nanti anak-anak kecil sering nonton berita orang mati jatuh dari kereta. Lihat orang hancur berdarah-darah jadi biasa.

Aku ingin lihat bangsa ini disiplin, tahu aturan.

Aku tak ingin lihat orang digusur. Tak ingin serba salah.

Dibiarkan, merusak pemandangan, bikin kotor, kumuh, jorok, bikin malu.

Digusur, kasihan, tak berperikemanusiaan, tak tahu mau diapakan.

Kalau sudah peraturan ya ditegaskan. Tidak boleh bangun rumah di sini. Tak boleh berjualan di sini.

Jangan hari ini digusur lalu ditinggal. Lama-lama ada yang bikin rumah lagi. Kapan-kapan digusur lagi. Begitu terus tak ada henti. Apa ini jadi ladang petugas cari peluang?

Aku tak ingin lihat fasilitas umum tak dipelihara,lalu rusak. Katanya tak ada biaya.Lalu buat apa orang bayar pajak? Dikejar-kejar, dihimbau-himbau, kalau ada yang mau bayar kadang-kadang dipersulit. Peraturannya kelewat banyak. Malah orang harus kursus segala biar ngerti masalah pajak.

Aku masih ingat orang diberi gelar pahlawan kalau mau bayar pajak. Orang bayar pajak itu kewajiban, kok.

Kalau uang pajak sudah terkumpul, tak jelas buat apa. Negara ini seperti kekurangan uang terus. Apa uang pajak hanya untuk bikin tebal kantong segelintir orang saja?

Aku ingin bangsa ini bertanggung jawab.

Begitu juga soal bayar iuran.

Listrik itu barang dagangan. Kalau orang banyak yang beli harusnya makin untung. Ini malah orang suruh berhemat. Kalau tidak listriknya habis. Harga minyak mahal jadi alasan. Salah sendiri kenapa bikin listrik pakai minyak? Benahi dulu perusahaan. Singkirkan tikus-tikus yang bikin PLN jadi ATM rombongan. Perbaiki pelayanan. Jangan sampai listrik kebanyakan mati, tapi maunya iuran dinaikkan.

Kembangkan pengetahuan. Hari gini kok cuma minyak yang jadi andalan.

Aku ingin bangsa ini makin pintar. Buat terobosan. Ada matahari, panas bumi, air yang lebih ramah lingkungan. Dimanfaatkan.

Aku tidak ingin bangsa ini picik.

Kalau akhlak bangsanya rusak, majalah seronok jadi makanan. Situs porno mau diharamkan. Si Inul tdak boleh ngebor-ngeboran.

Seperti tidak ada lagi kebebasan. Katanya negara demokrasi. Kenapa sampai dunia maya saja diperdebatkan. Mana hak pribadi orang? Harusnya semakin dewasa. Kalau tidak suka yang pornografi dan pornoaksi, ya jangan lihat. Jangan ancam orang yang mau lihat. Jangan asal bilang orang sesat. Katanya yang seronok bikin orang blingsatan, merusak iman. Ah, dasar orangnya saja. Biar pakai baju rapat, kalau memang otak ngeres, bisa kelihatan telanjang.

Kalau sudah begitu, agama dijadikan alasan. Alasan buat demo besar-besaran, menebar ancaman dan kebencian. Pakaian santri, kelakuan preman.

Juga kalau di teve banyak adegan kekerasan. Acara gulat dagelan jadi sasaran. Stasiun teve yang disalahkan. Katanya nggak mendidik. Anak kecil jadi ikut-ikutan. Malah sampai jatuh korban.

Kok stasiun teve disuruh mendidik? Lalu buat apa ada orangtua. Lihat anaknya nonton gulat dibiarkan. Padahal acaranya diputar larut malam. Orangtua macam apa yang membiarkan anaknya nonton teve malam-malam? Kalau tidak suka kan tinggal ganti saluran. Atau matikan, suruh anaknya naik peraduan.

Aku ingi bangsa ini luas wawasan. Hargai pilihan.

Aku tidak ingin bangsa ini bodoh.

Pendidikan tak diperhatikan. Banyak orang miskin, tidak bisa sekolah. Banyak bangunan sekolah hampir rata dengan tanah. Guru-guru tidak diupah layak. Malah ada seorang kepala sekolah jadi pemulung sampah. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi tanya saja mereka. Pasti mereka lebih senang digaji banyak. Mereka tidak butuh gelar pahlawan. Mereka butuh uang buat makan. Kalau perut kenyang, mengajar jadi semangat.

Apa lagi kalau sekolah digratiskan. Makin banyak yang sekolah, makin banyak yang pintar. Makin pintar bangsa ini jadinya. Kalau pintar, bisa cari kerja. Kalau pintar cari kerja, bangsa ini tidak lagi dipenuhi orang-orang miskin. Tidak ada lagi anak-anak kecil ngamen di perempatan jalan. Tidak ada lagi anak-anak kecil diperdagangkan.

Tidak perlu lagi jadi TKW. Pergi jauh-jauh ke negeri Jiran. Pulang tanpa bayaran, malah remuk redam, babak belur, mati, atau tidak bisa pulang karena jadi tahanan. Katanya karena membunuh sang majikan. Kalau sudah begini, pemerintah tak mau turun tangan. Padahal para TKW itu sumber devisa, nafkah negara. Itu urusan PJTKI, negara jangan disalahkan. Pemerintah kok jadi kelihatan tidak pintar.

Aku ingin bangsa ini pintar.

Aku tak ingin bangsa ini jadi preman.

Paling menakutkan preman yang pintar. Bikin perkumpulan atau organisasi massa. Entah dasarnya agama atau kerakyatan, kerjanya bikin ketakutan. Siapa yang tidak ngeri lihat kumpulan preman? Jadi penguasa jalanan terus tawuran, rebutan lahan.

Kalau waktu puasa sibuk merazia. Rumah makan dan kafe yang buka dihakimi ramai-ramai. Katanya menjaga kesucian Ramadhan. Kok malah bikin keributan? Bukankah sudah ada aturan? Kalau bulan puasa tidak boleh sembarangan. Kan sudah ada hukum. Serahkan saja sama aparat. Jangan main hakim sendiri.

Aku ingin bangsa ini aman.

Aku tidak ingin bangsa ini serakah.

Sudah kaya masih jadi maling. Korupsi sana-sini. Rebutan jabatan. Rebutan tempat basah. Rebutan kursi dewan. Rebutan kepentingan.

Nasib rakyat jadi mainan. Jangankan diperjuangkan, malah dimanfaatkan. Waktu pemilihan, janji-janji ditebarkan. Kalau sudah menang semua dilupakan. Yang penting sudah punya kedudukan. Perut sendiri diutamakan. Jadi tambah pintar ngomong. Politik praktis memang mengesankan.

Dewan perwakilan jadi tempat cari uang. Bikin anggaran dibesar-besarkan. Minta laptop, biaya jalan-jalan studi perbandingan ke luar negeri, minta teve plasma buat bagus-bagusan walau tak pernah ditonton. Semua bukan tanpa alasan. Biar kinerja jadi tambah bagus, melayani masyarakat biar tambah relevan dan signifikan.

Kalau rapat lamanya sampai bulanan. Nginap dan melobi maunya di hotel-hotel mewah, padahal di gedung DPR banyak ruangan. Bisa dibayangkan berapa biayanya. Biaya rapat, konsumsi, penginapan. Bisa sampai milyaran. Coba kalau biaya rapat dipakai buat kasih makan orang kelaparan. Atau bantu pengungsi bencana alam. Atau bikin sekolah baru. Atau…

Aku ingin bangsa ini… tak tahulah…

Senin, 24 Maret 2008

Jazz

Definisi musik jazz yang dijabarkan oleh gitaris Jubing Kristianto dalam buku yang ditulisnya, Gitarpedia Buku Pintar Gitaris (terbitan Gramedia, Jakarta – red) adalah: musik yang berakar dari New Orleans, Amerika Serikat, pada akhir abad ke 19. Merupakan buah perbauran berbagai jenis musik, antara lain blues, ragtime, brasss-band, musik tradisional Eropa, dan irama-irama asli Afrika.

Kamus besar bahasa Inggris Mirriam-Webster menuliskan: musik Amerika yang dikembangkan dari ragtime dan blues dan dikarakterisasi oleh ritme-ritme propulsive yang disinkopasi, permainan ensambel polifonik, berbagai tingkat improvisasi, dan seringkali menggunakan distorsi yang disengaja dari pitch dan timbre. Istilah jazz pertama kali dipakai kira-kira pada tahun 1917. Asal kata jazz sendiri tidak pernah benar-benar diketahui. Kemungkinan kata ini berasal dari bahasa prokem orang-orang keturunan Perancis di daerah New Orleans, ‘jaser’ yang berarti ngerumpi. Terlepas dari itu semua, jazz sudah berkembang jauh menjadi suatu ikon budaya dan gaya hidup bagi sebagian orang, alih-alih hanya sebuah kata. Bahkan era akhir ‘20-an dan awal’30-an dikenal sebagai The Jazz Age di negara asalnya, Amerika Serikat. Era yang juga dikenal sebagai The Great Depression itu tidak mampu menghentikan para jet-set untuk berpesta, memenuhi kelab-kelab jazz dan ballroom hotel-hotel besar di kala itu.

Memang, jazz identik dengan kaum elit. Sudah dari sono-nya musik ini selalu menjadi pilihan bagi para saudagar kaya, pesohor maupun kaum bangsawan yang slalu menghadiri pesta dengan tuxedo dan gaun-gaun mahal. Padahal cikal bakal musik jazz adalah musik yang awalnya dimainkan oleh kaum yang terbuang, budak-budak hitam dari Afrika. Entah kapan dan di mana kontradiksi ini telah lama menguap.

Di Indonesia sendiri musik jazz telah menempuh perjalanan yang tidak pendek. Pada awalnya musik ini dibawa oleh bangsa Eropa, pemerintahan kolonial Hindia Belanda di saat yang kurang lebih sama dengan booming-nya era jazz di Amerika Serikat. Selalu dimainkan di hotel-hotel mewah atau di rumah-rumah para pejabat kolonial, menyebabkan musik ini menemui kondisi yang sangat eksklusif. Tidak semua orang dapat menikmatinya. Hanya yang berkedudukan tinggi, berkoneksi dan tentu saja, berkuasa dan berduit. Bukan musiknya kaum papa dan pinggiran (baca: terjajah). Barangkali inilah salah satu sebab musik jazz tak pernah merakyat di Tanah Air. Mungkin sampai sekarang.

Jazz telah mendunia. Menjadi konsumsi global. Dalam perjalanannya, musik ini telah berkembang menjadi banyak sub-genre. Persinggungannya dengan banyak faktor, kondisi geografis, ragam budaya dan jenis musik lain, telah memperkaya musik ini. Pada awalnya jenis yang paling populer adalah swing, dimainkan oleh sebuah big-band yang didominasi alat musik tiup. Biasanya dipakai untuk mengiringi pesta dansa. Para pelopor genre ini adalah nama-nama legendaris seperti Benny Goodman, Count Basie, Tommy Dorsey, Duke Ellington dan Benny Miller. Kemudian muncullah nama-nama seperti Charlie Parker dan Dizzie Gillespie. Mereka menganggap gaya jazz lama terlalu kaku dan kurang bebas. Mereka kemudian memelopori lahirnya genre baru yaitu bebop dan hard-bop, yang lebih lugas dan dinamis, lebih bernilai seni daripada hanya sekedar musik pengiring dansa. Unsur-unsur alat musik elektrik pun mulai dimasukkan.

Kondisi geografis juga mulai memberikan warna tersendiri pada musik jazz. Pada tahun ’60-an, seorang saksofonis jazz Amerika Serikat bernama Stan Getz dan seorang komponis-pianis Brazil Antonio Carlos Jobim memperkenalkan sejenis musik latin ke negeri Paman Sam dan segera saja bossa nova mulai mendunia. Di Inggris pada tahun ’80-an lahirlah sentuhan Eropa yang mengambil bentuk British funk dan acid jazz yang diusung oleh nama-nama grup band seperti Level 42 dan Incognito. .Percampuran antar genre melahirkan jazz rock dan fusion. Musik jazz juga melahirkan banyak legenda. Mulai dari yang sudah almarhum seperti trumpetis Miles Davis yang memelopori cool jazz, Frank Sinatra, Ella Fitzgerald, Billie Holiday, yang gaek tapi masih aktif seperti Tony Bennet, Al Jarreau, pianis Dave Grusin, sampai yang muda-muda dan penuh energi seperti Harry Connick.Jr, Jamie Cullum, Michael Buble dan Norah Jones.

Kini musisi-musisi jazz handal sudah tidak lagi dimonopoli oleh nama-nama beken dari negeri Paman Sam. Negara-negara Eropa, Amerika Selatan bahkan Asia juga banyak menelurkan musisi-musisi jazz yang ciamik. Jepang adalah adalah salah satu negara Asia yang rajin mengorbitkan banyak musisi dan inovasi musik jazz mutakhir. Salah satu yang paling berkibar sampai sekarang adalah grup band fusion Casiopea.

Festival-festival musik jazz juga banyak diadakan. Beberapa yang melegenda adalah North Sea Jazz Festival di Belanda, Toronto Jazz Festival di Kanada, dan New Orleans Jazz & Heritage Festival di Amerika Serikat, tanah kelahiran musik ini. Festival-festival tahunan bertaraf internasional semacam ini selalu menjadi tolok ukur perkembangan musik jazz dunia.

Bagaimana dengan perkembangan musik jazz di Tanah Air? Pada awal tahun ’90-an lahirlah festival Jak Jazz yang dimotori oleh legenda jazz Indonesia Ireng Maulana. Kemudian pada awal abad ke 21 hadirlah Java Jazz Festival. Keduanya nampak selalu berlomba-lomba menghadirkan artis-artis jazz papan atas dunia. Keduanya berskala internasional. Secara rutin cukup berhasil membuat Indonesia dilirik dunia sebagai barometer baru khazanah per-jazz-an. Tiap tahun festival-festival tersebut selalu ramai dikunjungi berbagai macam lapisan penggemar musik jazz Tanah Air, walaupun tetap saja eksklusif lantaran harga tiket pertunjukannya yang masih terhitung sangat mahal untuk ukuran kantong masyarakat Indonesia. Setelah festival-festival tersebut berakhir, tetap saja pergolakan musik jazz lokal nampak kembali sepi. Itu masih ditambah dengan festival-festival berskala lebih kecil, tetapi cukup mampu mewarnai gejolak jazz lokal seperti Jazz Goes to Campus yang dimainkan dalam lingkungan kampus-kampus di Ibukota. Walaupun kaum muda mendominasi banyaknya jumlah penonton festival, tetap saja sebagian besar mereka menganggap jazz terlalu ‘berat’ untuk dijadikan santapan mereka sehari-hari. Nampaknya mengucurkan dana besar untuk menonton sebuah festival musik jazz internasional masih dianggap hanya sebagai sesuatu yang menaikkan gengsi. Atau sekedar bersuka ria berkumpul sesama teman-teman, menikmati tontonan murah meriah di festival jazz kampus. Mereka tetap memilih musik-musik ber-genre umum seperti rock, pop, r&b atau musik dansa house, trance dan hip-hop. Secara kasat mata dapat ditemui dari banyaknya stasiun televisi di Tanah Air, tak ada satu pun tayangan program yang dipersembahkan khusus bagi pecinta musik jazz. Bahkan musik jazz kalah jauh pamornya dibandingkan dangdut di ranah pertelevisian secara komersial. Demikian pula yang terjadi pada ranah gelombang radio. Sangat jarang ditemukan stasiun radio yang didedikasikan untuk para penggemar jazz. Jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Paling-paling di setiap kota besar di Jawa khususnya, hanya ada satu stasiun radio yang mengudarakan program musik jazz sebagai main course-nya. Dan itu pun hanya kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung atau Surabaya. Lagi-lagi mereka yang bukan orang awam dalam menikmati musik jazz tak bisa menyalahkan siapa-siapa atas kondisi ini.

Pada era ’80-an khazanah musik Indonesia masih diramaikan oleh grup-grup jazz seperti Funk Section (mendiang Krist Kayhatu dkk), Karimata (Candra Darusman dkk), Krakatau (Indra Lesmana dkk), Emerald (Noorsaid bersaudara) dan banyak lagi yang lainnya. Kini mereka bagaikan hilang ditelan kabut, tersingkir oleh permintaan industri musik yang memilih jenis-jenis musik pop yang lebih laku dijual. Musisi-musisi jazz seperti Erwin Gutawa dari Karimata dan Dwiki Dharmawan dari Krakatau tidak lagi menggiatkan kelompok musiknya dan nampaknya lebih memilih jalur ‘aman’ bermain di dunia pop. Tak terlalu mengherankan, memang. Bahkan musisi kelas dunia seperti Sting yang pernah mengaku bahwa jazz lah gairah utamanya dalam bermusik, pada awalnya membentuk grup band punk rock, The Police hanya sebagai sarana untuk mencari nafkah yang pasti.

Dunia jazz Indonesia hanya meninggalkan tempat bagi nama-nama lama seperti almarhum Jack Lesmana, almarhum Bill Saragih dan almarhum Nick Mamahit, Kiboud Maulana, Buby Chen atau Mus Mujiono. Hampir tidak ada ruang bagi regenerasi. Walaupun kini telah banyak bermunculan nama-nama baru dan segar seperti Malik and d’Essentials, Ecoutez dan Parkdrive tetap saja mereka memilih jalur aman. Walaupun kerap tampil dalam festival-festival jazz lokal, mereka mengaku membawakan lagu-lagu pop yang jazzy dan tetap emoh dibilang memainkan musik jazz. Untungnya masih ada segelintir orang muda yang setia dan peduli pada musik jazz yang mainstream. Mereka berkumpul, memainkan dan menikmati musik jazz, walaupun hanya untuk kalangan terbatas. Contohnya adalah apa yang dilakukan para orang muda yang membentuk suatu komunitas yang diberi nama Komunitas Jazz Kemayoran. Tetapi, komunitas ini tetap saja tampil secara terbatas, baik bagi anggotanya maupun peminatnya. Tidak mampu menjangkau masyarakat luas. Begitu pun, sebenarnya banyak talenta-talenta muda yang menggemari jazz. Hanya saja media bagi mereka untuk tampil dirasa masih sangat kurang. Mereka kebanyakan unjuk gigi dalam lomba-lomba bagi grup musik yang biasanya diselenggarakan oleh sekolah-sekolah musik yang disokong oleh produk alat musik terkenal. Tetapi, pembinaan selanjutnya seperti berjalan di tempat. Seperti tak ada pihak yang mau memberikan perhatian lebih kepada mereka, apalagi mengajak mereka masuk dapur rekaman. Sekali lagi, sulit menjual musik jazz.

Musik jazz, seperti semua karya seni lain, memang dinamis. Dalam perjalanan usianya yang panjang, semakin berkembang dan menghadirkan banyak warna. Para penikmat musik pun disuguhkan oleh makin banyak pilihan. Mau yang konservatif tapi berat, atau yang mutakhir dan terdengar ringan-ringan saja. Pada akhirnya perkembangan musik jazz mendegradasi jazz itu sendiri. Seperti kata Suka Hardjana dalam bukunya Musik Antara Kritik dan Apresiasi (Penerbit Buku Kompas, Jakarta-red), “…saat ini agak sukar membedakan mana jazz yang benar-benar jazz, jazz yang setengah jazz, jazz yang campur-campur, dan jazz yang bukan jazz.” Yang mana pilihan anda? (Sonny)

Dari berbagai sumber

Pop, Seminyak dan Klasik

Aku tak setuju bahwa ada sebuah lagu yang berjenis kelamin pop. Tak ada itu yang namanya lagu pop. Pop itu bukan jenis lagu. Pop hanya merupakan suatu keadaan, status, bukan nama, bukan genre. Semua jenis musik bisa menyandang status pop. Rock, jazz, keroncong, blues, boogie-woogie, campursari, reggae, dangdut, bahkan ocehan anak kecil pun, bisa jadi pop.

Pop itu singkatan dari popular. Populer kalau sedang in, masih baru, gres. Kalau sudah lewat masanya, lagu itu jadi klasik.

Bahkan sebuah komposisi simfoni karangan Mozart pun pernah jadi musik pop, waktu pertamakali dipopulerkan. Sekarang namanya klasik, karena sudah lewat zamannya. Sudah ratusan tahun berlalu.

Seperti suasana sore ini. Akan menjadi klasik kalau esok sore sudah tiba. Sore di teras rumah kawanku, duduk-duduk ditemani yang empunya rumah. Jarang sekali aku bisa bertemu dengannya. Baru pagi tadi dia pulang ke Jakarta untuk berakhir pekan. Sejenak lari dari kesibukannya di kota Bandung. Sejenak lari dari istrinya.

“Kau mau melawan pendapat umum?” tanya temanku yang buntal itu.

“Setiap orang bebas punya pendapat,” jawabku.

“Budaya pop sudah berumur puluhan tahun.”

“Bukan berarti tidak bisa salah.”

“Kalau begitu, jutaan orang salah menjuluki Michael Jackson si Raja Pop?” tanyanya sambil nyengir, geleng-geleng kepala menghadapi kekerasan kepalaku.

“Betul,” jawabku pendek.

“Punya dasar yang kuat, bilang MJ bukan raja pop?”

“Sebutkan satu lagu yang pernah dinyanyikan MJ. Akan kusebutkan genre lagunya.”

“Oke. Hmmm... Beat it.”

“Rock.”

Bad.”

“Rock.”

Rock with You.”

“Walaupun ada kata rock, lagu itu bukan rock. Disco,” lanjutku, “Pokoknya dia bukan penyanyi pop. Dia itu rocker. Rock star! Lagu-lagunya berjenis rock, r&b, disco, tak ada yang pop.”

“Pasti ada alasan mengapa orang-orang menjulukinya raja pop.”

“Karena setiap lagu yang dinyanyikannya pasti populer.”

“Kau mau bilang itu ke dia?”

“Ide bagus!” sahutku. “Aku mau bilang : hei, Mike. Sorry to say, you’re not a pop star. You are a rock star. Coba dengar lagumu Black and White. Di situ ada suara gitarnya Slash. Slash itu gitaris rock. Dia bisa nangis kalau dibilang dia memainkan musik pop.”

Kawanku yang baik dan gembul itu tertawa geli. Perutnya terguncang-guncang sedikit. “Bisa cukur rambut tuh si Slash!” imbuhnya. “Omong-omong, kenapa kau selalu mengajakku berdiskusi tentang hal-hal seperti ini? Musik, buku, pengetahuan umum?”

“Karena kau tidak pernah membantahku.”

“Dari tadi apa yang kulakukan, pikirmu?”

“Kau memberikan pandangan. Tinjauan alternatif. Menguji. Bukan membantah.”

“Padahal aku tak terlalu setuju denganmu,” lanjutnya.

“Oke. Menurut pendapatmu sendiri bagaimana? Apa itu musik pop?”

“Tak tahu lah. Tak peduli.”

“Itulah yang kusenangi dari dirimu. Kekosongan yang bisa aku isi.”

“Jadi menurutmu aku ini kosong?”

“Jangan ketus begitu, dong! Habis kau jarang punya pendapat sih!”

“Aku cuma tak mau ambil pusing.”

“Ya itulah kau!”

Kuraih bungkus rokok di atas meja teras. Kusulut satu, kuembuskan asapnya ke udara terbuka. Di rumah ini orang hanya bisa merokok di ruang terbuka. Teras rumah, halaman belakang, pokoknya tidak boleh di dalam rumah. “Apa pilihanmu?” tanyaku kemudian.

“Apa saja yang enak kudengar,” jawabnya pendek.

“Kalau kentut enak kau dengar?”

“Kau mau bicara musik atau...?” sahutnya ketus.

“Makanya yang spesifik!” tukasku tak kalah judes.

“Musik apa saja. Aku tak pernah mengotak-kotakkan selera.”

“Itulah masalahmu. Tak pernah tegas. Spesifik,” lanjutku.

-------o00o-------

Milkshakenya enak,” katanya ketika keluar dari kamar hotelku di Legian. “Paling tidak sejauh yang pernah kurasakan setelah beberapa bulan di Bali.”

Aku yang minta dicarikan empat makan yang kecil dan sepi hanya menyahut pendek, “ Oke.”

Bukan kualitas makanan dan minuman yang aku cari. Aku hanya ingin berdua lebih lama lagi dengannya, di malam terakhirnya di Bali. Setelah makan malam aku harus mengantarnya pulang ke tempat kosnya, untuk bersiap menjalankan tugas malam sebagai PR Officer sebuah kafe di Jalan Padma.

Dan aku tak akan bertemu dengannya lagi sampai besok siang ia pamit pulang ke Jakarta. Aku bisa saja menungguinya semalaman di kafe, melihatnya bergaul dengan tamu-tamu kafe, merayu mereka untuk membeli lebih banyak lagi makanan atau minuman, tapi tidak. Hatiku akan hangus terbakar cemburu melihatnya dikelilingi oleh bule-bule mabuk, yang punya angan bagai tentakel-tentakel gurita raksasa, dan itu akan membuatku makin berat meninggalkan Bali nanti.

Jadi di sanalah kami berdua sekarang. Di sebuah restoran kecil di pojok pelataran parkir sebuah factory outlet, di tepi jalan kecil di daerah Seminyak.

“Sepi, ya,” kataku. Dia hanya mengangguk kecil. Seluruh Bali juga sepi. Keadaan tak pernah bisa betul-betul pulih semenjak tragedi bom di Legian.

Kami memesan dua porsi makan malam yang terdiri dari nasi dan ayam bakar serta, tentu saja, dua gelas besar milkshake cokelat.

Terus terang aku tak nafsu makan. Tak sudi aku memandangi piring makan malamku kalau aku bisa sepuasnya memandangi wajahnya. Orang tak bisa bilang kalau dia punya wajah yang cantik jelita, tapi aku tahu kalau orang pasti tertarik kepadanya. Dia punya daya tarik seorang perempuan matang. Bukan milik seorang gadis yang baru ranum-ranumnya, rupawan dan menebarkan rasa manis. Dia seorang perempuan dewasa. Kecantikan bukanlah daya tariknya. Tapi buatku dialah yang namanya cantik. Cantik secantik-cantiknya.

“Kenapa tak kau habiskan makananmu?” tanyanya.

“Sudah kenyang aku,” jawabku pendek.

“Jawaban orang banyak pikiran,” tambahnya sambil tersenyum tipis.

“Apa kelihatan jelas?”

“Apa yang kau pikirkan?”

“Tak tahulah,” jawabku. “Macam-macam.”

“Seperti?”

“Seperti, entah kenapa aku merasa takkan melihatmu lagi.”

Matanya memandangi gelas di depannya. Kulihat wajahnya mendadak sedikit suram. Entah apa yang ditimbulkan kata-kataku dalam dirinya. Rasa kesal? Atau sesal?

“Kenapa ngomong seperti itu?” tanyanya kemudian.

“Aku masih beberapa hari lagi di Bali,” lanjutku. “Besok kau pulang ke Jakarta. Dan saat aku pulang ke Jakarta nanti, kau sudah akan kembali ke sini lagi.

Wajahnya masih sedikit suram. Kesal? Sesal?

“Bukan keinginanku seperti itu,” lanjutnya. Terasa suaranya makin lirih.

“Tapi kau juga tak berkeinginan sebaliknya,” kataku. Apa aku terdengar sinis? pikirku.

Kan aku sudah bilang. Aku tak bisa...”

“Memang,” sergahku. “Aku memang bukan apa-apamu. Dan kutahu kau tak ingin aku jadi apa-apamu.”

“Aku sudah coba. Tapi aku memang tak bisa menerimamu.”

“Ya, aku tahu. Perasaan memang tak bisa dipaksakan. Hanya saja...”

“Hanya saja apa?”

“Hanya saja... aku tak habis pikir,” lanjutku. “Setelah setahun kita saling kenal. Setelah kita berdua di kamarku tadi...”

Kupandangi lagi wajahnya. Tak bisa kuduga apa yang dipikirkannya. Matanya menghindari tatapanku. Kelu? Muak? Menyesal? Feeling guilty? Bingung? Kita berdua di kamar tadi. Penuh arti? Cinta? Kesenangan badani? Just a kiss? Dari hati? Seks belaka? Tak bisa kuduga apa yang dirasakannya. Aku hanya bisa merasakan, dia tak merasakan sedalam apa yang kurasakan. Bali yang sepi jadi terasa makin sepi.

Tubuh kami hanya dipisahkan oleh sebuah meja. Tetapi meja itu menjadi saksi terpisahnya dua jiwa sejauh jarak yang direntangkan oleh dua dunia yang berbeda. Seolah kami mamandang langit yang sama sambil menjejakkan kaki pada bola angkasa yang berbeda.

Seingatku tak ada lagi kata-kata yang kami ucapkan, yang menunjukkan bahwa hubunganku dengannya paling tidak punya setitik arti, sampai aku mengantarnya ke bandara esok harinya. Kami hanya dua orang yang kebetulan bersimpangan jalan di dunia ini. Hubungan kami hanya sempat pop, tanpa punya kesempatan untuk jadi klasik...

-------oo00oo-------

“Jadi kau mau memulai gerakan anti pop?” tanya sobatku tiba-tiba.

Gambaran sebuah restoran di Seminyak terlempar keluar dari benakku.

Aku kembali ke teras depan rumah kawanku tersayang. Pertanyaan sinisnya membuyarkan lamunanku. Namun diam-diam aku merasakan sedikit kehangatan dari kekecewaan karena tercerabut dari lamunan itu. Membuatnya terasa sedikit...klasik.

“Apa kau bilang?” aku balik bertanya.

“Kau mau memulai gerakan anti pop?”

“Aku tidak anti pop,” sahutku tenang sambil menghembuskan asap rokok.

“Ha?” serunya dengan wajah tak percaya. “Lalu sedari tadi apa yang kita ributkan?”

“Menurutmu apa? Apa yang kau simak?”

“Segala omongan tentang pop, rock, jazz... Tak ada itu yang namanya musik pop...”

“Ya! Itu!” sergahku. “Kau menyimak omonganku. Bukan maksudku.”

“Maksudmu...?”

“Tak ada itu yang namanya musik pop,” potongku. “Aku tak pernah bilang tak suka atau anti musik pop.”

“Tapi tetap saja kedengarannya negatif.”

“Aku cuma tak suka adanya faktor-faktor yang menyebabkan suatu jenis musik dengan mudah jadi populer.”

Temanku mengerutkan keningnya. Selama beberapa detik nampaknya dia berpikir keras, sampai akhirnya dia berkata sambil mengibaskan tangannya, “Aku biarkan kau menjelaskan faktor-faktor apa saja itu.”

Mau tak mau aku sunggingkan seulas senyum geli. “Coba saja dengarkan band-band yang menjamur sewasa ini,” lanjutku.

“Teruskan,” kata temanku itu sambil memusatkan perhatian pada apa yang hendak kukatakan. Mudah sekali membuatnya memutar pantat dan menarik perhatiannya.

“Semuanya populer, laris bak kacang goreng. Apa yang membuatnya begitu?”

“Apa?”

“Musikalisasi yang sederhana, lirik-lirik yang ringan, gampang dimengerti, membuatnya mudah diterima pendengar.”

“Apa salahnya dengan itu?”

“Tidak ada salahnya,” kataku. “Tidak ada salahnya kalau ukurannya duit.” Kubiarkan kata-kataku meresap sejenak. Kumatikan rokokku di asbak.

“Yang mudah diterima orang pasti lebih laris,” lanjutku.

“Aku merasa ada ukuran lainnya,” kata temanku menyelidik.

“Lain lagi kalau ukurannya orisinalitas. Keunikan,” sambungku. “Coba saja dengar lagu-lagu mereka. Bagiku mereka semua terdengar sama saja.”

Keningnya tak lagi mengerut. Namun dia nampak masih berpikir walaupun tak sekeras tadi. Agaknya dia mulai menangkap maksudku.

Gaya nyanyi, suara vokal, bahkan penampilan dan potongan rambut semuanya sama,” kataku. “Mereka cenderung meniru pendahulu-pendahulu mereka yang lebih dulu populer. Gaya dan penampilan sama, kemungkinan besar rejeki juga sama.”

“Kelihatannya aku mengerti maksudmu,” kata temanku manggut-manggut.

“Kalau gaya jualan sudah terbukti laku, kualitas jadi nomor sekian,” lanjutku. “Kacang goreng lebih laku daripada fillet mignon. Semua orang bisa beli kacang goreng.”

“Jadi kau lebih suka kalau disuguhi filey... apa tadi?”

“Bukan begitu. Maksudku walaupun enak, kacang tetap saja kacang.”

“Yah, begitulah orang Indonesia,” tambahnya. “Kalau jualan kacang saja bisa kaya, buat apa jualan filey filey apa itu tadi.”

“Parahnya film juga begitu. Film Indonesia isinya horor melulu...”

“Ha ha ha ha!” gelaknya. “Biar aku lanjutkan. Yang serba ngesot memang laku.”

“Yah, siapa tahu? Suatu saat nanti yang serba ngesot bisa jadi klasik. Bisa jadi cult movie,” sambungku.

“Jadi intinya, semua yang pernah nge-pop suatu saat akan jadi klasik, begitu?”

Kuambil rokok sebatang. Kunyalakan. “Kurang lebih begitu. Menurutku,” jawabku sambil mengepulkan asap.

“Kesimpulannya, kau suka semua yang klasik,” tambahnya lagi.

“Tidak juga.”

“Kau ini...!”

“Kalau aku tak suka saat dia nge-pop,” tukasku, “jangan harap aku suka kalau dia sudah jadi klasik.”

Kawanku itu menggeleng-gelengkan kepala sambil menggaruk-garuk perutnya yang buntal. “Memang susah bicara denganmu. Susah!” katanya.

Aku cuma tersenyum saja sambil menghisap rokokku dalam-dalam. Memang enak merokok. Merokok akan selalu pop. Merokok adalah pop culture. Tak akan jadi klasik. Apalagi jika merokok sambil menikmati sunset. Di pantai.

Ah, tiba-tiba aku ingin sekali pergi ke Bali.

Jakarta

November 11th 2007

Aiko (Jalanan Kota Tokyo)

Aku tersenyum ketika pertama kali membaca tulisan namanya : Okamoto Aiko. Nama kecilnya ditulis dengan dua huruf kanji, ‘ai’ yang artinya cinta dan ‘ko’ yang artinya anak. Seorang anak penjelmaan cinta. Begitulah kurang lebih aku mengartikannya.

Aku tersenyum ketika melihat hubungan antara namanya dengan kecantikannya dan segala sesuatu tentangnya, yang begitu tepat membangkitkan gejolak dalam hatiku. Dia telah membangkitkan rasa cinta dalam hatiku, sejak pertama kali aku melihatnya di kampus Nihon University Tokyo.

Beranikah aku mengatakan cinta? Apakah kata itu akan selamanya terucap? Takkan ada yang mampu mengukur perasanku. Bahkan tidak juga waktu. Tiada kesadaran yang mampu mencegah datangnya perasaan yang satu itu. Tiada hati yang mampu menghentikannya tumbuh. Jadi katakanlah, Cintaku... akankah ada jawaban untuk semua pertanyaanku itu?

Dunia kita begitu jauh berbeda.

Jawaban... Kadang lebih baik dibiarkan tak terucap. Dan malam pun semakin larut, seperti yang kusaksikan dari sebuah sudut di kota Tokyo. Aku akan merindukan kota ini seperti aku merindukanmu. Aku merasa begitu tersesat. Tiap penunjuk jalan, tiap trotoar yang terasa akrab... apakah mereka mengenalku? Kemanakah jalan-jalan ini menuju? Semakin jauh aku berjalan, semakin cepat aku kembali ke mana aku mulai. Apakah aku telah berjalan dalam lingkaran? Dan aku menemui diriku sendirian di tengah sesaknya subway di jam-jam selepas kerja, terkurung oleh dinding-dinding kereta cepat ini.

Ketika aku melangkah keluar dari subway, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Masih sore untuk ukuran Tokyo. Kehidupan malam pun baru memperdengarkan gelegaknya, di bawah sinar bulan yang bersaing dengan gemerlapnya kawasan Roppongi.

Bar, coffee shop, geisha, pria-pria berdasi dengan laptop mereka, tertawa dan melekat pada gelas-gelas bir dan hiburan-hiburan selepas kerja. Jalanan pun telah bosan dengan langkah-langkah kaki mereka yang mantap. Hari demi hari. Malam demi malam. Aku masih belum bisa percaya mereka makan nasi, bukannya mur dan baut dan minyak pelumas. Dan aku masih belum bisa percaya aku telah jatuh cinta dengan salah satu dari mereka. Aku tesenyum dan melangkah masuk ke dalam salah satu bar di situ. Aku menjadi begitu terbiasa dengan gaya hidup mereka.

Bar itu tidak terlalu ramai. Dengan begitu tidak terlalu bising. Aku memesan segelas minuman segera setelah mengambil tempat duduk di ujung bar yang kosong. Sebenarnya aku tak terlalu ingin minum. Aku lebih suka memikirkannya sekarang. Aku merasa takkan pernah berhenti memikirkannya kecuali, tentu saja, kalau aku mati. Terbayang di benakku pertemuan dengannya, pertemuan terakhir, di sebuah restoran di Akasaka.

“Aku memilihmu karena rambutmu,” katanya kala itu.

“Memangnya ada apa dengan rambutku?”

“Rambutmu hitam. Alami,” katanya lagi,”Kau lihat saja sekelilingmu. Dewasa ini sulit sekali menemukan pria Jepang muda yang berambut hitam alami. Semua mengecat rambutnya. Pirang, merah,...”

“Kebetulan memang aku tak suka mengecat rambut,” timpalku.

“Baguslah kalau begitu.”

Pernyataannya sedikit membuatku berpikir. “Tunggu dulu. Berarti kalau aku mengecat rambutku, kau takkan memilihku?”

“Bisa jadi,” jawabnya enteng. Pandangannya tak tertuju padaku.

“Hei, kau tak adil!” tukasku pura-pura sewot. “Berarti, kau bukan memilihku karena kepribadianku?”

“Bukan berarti begitu juga,” katanya sambil tersenyum, manis sekali. Kali ini dia langsung menatapku. “Tetapi hal kecil seperti warna rambut bisa berpengaruh besar terhadap pilihan seseorang.”

“Memang,” kataku pelan. Kali ini aku yang tidak menatapnya. Kepalaku tertunduk di atas cangkir blackberry tea yang setengah kosong di atas meja.

“Seperti pilihan orangtuamu, yang menginginkan orang Jepang sebagai menantu.”

“Maafkan aku,” sahutnya lirih.

“Tak apa. Bukan salahmu.”

“Darah memang sangat penting dalam keluargaku. Ayahku bilang, ‘Darah murni samurai kekaisaran sudah mengalir selama ratusan tahun dalam keluarga kita. Aku ingin keturunanku juga berdarah murni’. Dia mengatakan itu setelah kau pulang. Pada hari pertama kali aku mengenalkanmu pada orangtuaku. Aku langsung tahu apa maksudnya. Dia tak menyetujui hubungan kita,” lanjutnya lagi. Semakin lirih.

“Mungkin kau bisa bilang aku juga keturunan ningrat. Penguasa kerajaan besar di Jawa,” kataku. Sebuah usulan yang jelas tidak serius. Sebuah joke kecil untuk mengangkat suasana hatinya.

“Mungkin juga,” sahutnya. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Rupanya dia menangkap maksudku.

“Ah, tidak mungkin berhasil,” tukasku.

Kami tertawa mendengar pernyataanku itu. Tetapi hati kami memilih untuk menangis.

“Maafkan aku karena menjadi anak yang patuh,” katanya.

“Sudah kubilang tak apa. Bukan salahmu.”

Dia memandang arlojinya. Pukul satu siang.

“Aku harus pergi. Aku janji dengan ibu. Dia berkeras membantu mempersiapkan diriku untuk omiai* besok,” katanya kemudian. Dia mengucapkan omiai dengan cepat sambil menundukkan kepalanya. Sampai di sini dia tak lagi memandangku.

Aku tertegun. Secepat itu? pikirku. “Omiai?”

Dia mengangguk pelan. “Dengan anak kawan lama ayahku. Masih ada hubungan darah dengan keluarga Fujiwara.”

Aku tahu keluarga itu. Sudah ratusan tahun keluarga tersebut bernaung di bawah bayang-bayang kekaisaran Jepang. Hampir semua puteri dalam keluarga

itu, yang memang terkenal luar biasa elok, selalu dijadikan permaisuri para kaisar atau istri para pangeran kekaisaran Jepang yang konon merupakan keturunan langsung Sang Dewi Matahari, Amaterasu Omikami.

“Aku... ehm... begitu ya,” kataku terbata.

“Yah, begitulah,” sahutnya pelan. Hampir berbisik. Kepalanya tertunduk memandangi tas tangan di pangkuannya. “Yah,” katanya sambil berdiri.

“Selamat... kukira,”

“Kalau begitu...”

“Aiko chan...”

Sayonara...” Dia membungkuk cepat dan langsung bergegas pergi.

“Aiko chan!” sahutku hampir berteriak.

Tak ada lagi kata-kata yang bisa menahannya pergi. Aku bersumpah sempat melihat wajahnya saat dia berbalik pergi. Aku bersumpah melihat kilau di wajahnya waktu itu. Seperti... air mata.

Itu hampir sebulan yang lalu.

Sekarang aku di sini, di sebuah bar yang semakin ramai, di depan segelas minuman yang tak juga kusentuh. Aku merasa bodoh waktu melihatnya berlalu begitu saja. Tidak mencoba menahannya pergi. Tidak mencoba memperjuangkan cintanya. Tidak pula merasa ingin menangis.

Dunia kami terlalu jauh berbeda. Dalam hati kecilku pun aku sadar, hubungan kami tak kan bertahan lama. Tapi bukannya tidak mungkin. Aku sudah melihat banyak perkawinan antar ras negara yang berhasil. Hanya saja hal itu tak berlaku dalam hubungan kami. Apa memang aku kurang menginginkannya untuk berhasil? Ah, aku tak tahu. Aku merasa bodoh. Aku tak mau berpikir lagi.

Aku merasa begitu kesepian sekarang, terpisah darinya. Tapi aku tahu, kami menghirup udara yang sama. Dan kami memandang langit yang sama. Untuk sesaat, aku merasa dekat dengannya. Tetap saja aku bertanya, “Ya Tuhan. Apakah ia merasakan kesepian yang sama denganku?”

Dan Tokyo, engkau begitu sarat dengan tempat-tempat yang menarik. Tapi aku hanya ingin berada di mana Aiko berada. Kalau saja aku bisa. Untuk

beberapa menit kemudian, tiba-tiba aku merasa asing di kota yang kucintai ini. Aku membayar pesananku dan melangkah pergi.

Malam terasa tanpa akhir. Aku bisa saja pulang sekarang. Tapi aku merasa dekat dengannya di luar sini, di jalanan kota Tokyo. Aku tak ingin tidur, dan nampaknya begitu juga kota ini.

Kontak terakhir dengannya terjadi beberapa hari lalu. Saat itu hari ulang tahunku. Ulang tahun tanpa kue ulang tahun, tanpa sanak saudara, tanpa kado. Tapi kalau kupikir, seseorang telah memberiku kado. Aiko. Dia memberiku kado termahal yang bisa aku harapkan. Aiko menelepon. Selama lima menit. Lima menit yang berlangsung selamanya.

Nah, aku mengingat sesuatu yang membuatku sedikit bahagia. Apakah aku merasakan sedikit kecemburuan di udara? Maafkan aku, Tokyo. Orang memerlukan sedikit waktu untuk dirinya sendiri. Tapi kau masih bisa tetap bersamaku sebentar lagi. Malahan, habiskan waktumu selama yang kau mau. Bagaimana pun juga, kita berdua sendirian dalam dunia gila yang makin menua ini. Mati perlahan. Kita berdua mati perlahan, kawanku.

Kukeluarkan dompetku. Aku ingin mengamati fotonya. Aiko. Wajahnya yang telah menawan hatiku. Satu-satunya wajah yang ingin kulihat di setiap mimpiku yang gelisah. Aku tersenyum, mengatakan, “Aku mencintaimu,” mengembalikan dompetku ke saku celana, dan berjalan pulang ke apato.

Aku mencintaimu, sayangku Aiko. Selamat malam. Mimpi yang indah.

Dan untukmu Tokyo, kawanku. Hari ini terasa panjang dan kau telah mempersembahkan malam ini untukku. Oyasuminasai. Oyasumi...

Jakarta

December 12th 2007